Thursday, November 19, 2015

Menengok Peristirahatan Terakhir Sunan Kalijaga Di Kadilangu



Jika menengok ke belakang, saya sudah pernah mengunjungi dua makam dari Walisanga (9 orang yang membantu penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa) yakni Makam Sunan Kudus dan Sunan Muria. Berulang kali menyambangi Kabupaten Demak, saya justru belum pernah berhenti ke Kadilangu. Sebuah desa dimana kita bisa menemukan tempat peristirahatan terakhir anggota lain dari Walisanga - Sunan Kalijaga. 

Sehabis terbuai nikmatnya bakso balungan, Papa mengajak saya, Agam dan Dian untuk mampir ke Kadilangu sebentar. Setidaknya ada sekitar tiga jam waktu jeda sebelum rombongan kami harus bergerak menuju tempat dinas papa yang lain.

Perjalanan dari warung bakso balungan menuju ke Kadilangu membutuhkan waktu sekitar 15 menitan, dekat memang. Sejumlah bus peziarah terlihat telah memenuhi pinggiran jalan dan area parkir. Pemandangan yang tak begitu mengejutkan mengingat kami datang saat hari Minggu - salah satu hari puncak kunjungan peziarah selain hari libur nasional.

Papa langsung mengajak kami untuk memasuki gerbang beratap limas bertingkat yang sekaligus menjadi pintu masuk menuju kawasan makam. Atap itu mengingatkan saya dengan atap Masjid Agung Demak yang memiliki bentuk senada.

Gerbang masuk 

Lorong panjang dengan luas yang tak seberapa menunggu kami setelah melewati gerbang. Lorong itu dipenuhi oleh kios-kios pedagang di kanan-kirinya. Berbagai macam barang diperdagangkan disana, seperti: perlengkapan sholat, kaus bergambar Walisanga, lukisan ilustrasi para wali, hingga aneka jajanan. Kami berempat hanya bisa mengikuti arus peziarah yang datang sambil sesekali berhenti melihat aktivitas penjual-pembeli disana.

Lorong yang dipadati manusia

Salah seorang penjual cemilan tradisional
di lorong. 

Mendekati pintu masuk makam, sejumlah wanita menawarkan satu kantong plastik besar seharga Rp 500,00 per bijinya. Kantong plastik itu digunakan sebagai tempat sandal peziarah karena untuk memasuki makam harus melepas alas kaki. 

Saya menyarankan untuk membeli plastik ini, walau pengurus makam sebenarnya menyediakan area penitipan alas kaki. Jangan membayangkan rak-rak rapi karena alas kaki akan dikumpulkan di dalam ember besar. Ribet, rawan tertukar bahkan hilang.

Berhubung kedatangan kami bertepatan dengan waktu Dzuhur, kami memutuskan untuk menuju ke Masjid Sunan Kalijaga terlebih dahulu. Masjid ini letaknya bersisian dengan kawasan makam. Saya, Papa dan Agam langsung pergi mengambil air wudlu, sementara Dian yang tengah berhalangan menunggu di luar. 

Papan nama masjid

Dian
Dibandingkan Masjid Agung Demak, Masjid Sunan Kalijaga jauh lebih sederhana dan baru. Mungkin gara-gara masjid ini sudah sering dipugar dan diperluas, meski konon pertama kali didirikan pada tahun 1456.

Masjid Sunan Kalijaga dari depan

Para peziarah cilik tengah asyik bermain bedug

Ruangan dalam masjid

Selepas sholat, hanya saya yang akhirnya pergi mengunjungi makam sang sunan. Papa yang sudah beberapa kali berkunjung memilih untuk berisitirahat di masjid. Agam juga lebih memilih untuk berdiam di masjid bersama Dian. Ah, wajar. Panasnya sinar matahari siang itu memang membuat cepat lelah.

Seorang diri saya bergerak ke arah makam. Dengan menenteng tas plastik berisi sandal, saya langsung menyaru ke dalam rombongan peziarah lain. Dari logat bicaranya, mereka terdengar bukan berasal dari daerah di Provinsi Jawa Tengah.

Kami semua kemudian berjalan di atas semacam jalan setapak berlapis keramik. Jalan setapak itu terbagi menjadi dua jalur: jalur pertama bagi peziarah yang masuk, sedang jalur kedua bagi mereka yang hendak keluar. Ada semacam besi pembatas yang memisahkan kedua jalur tersebut.

Sebelum sampai ke Makam Sunan Kalijaga, kami melewati dulu makam-makam lain yang terdapat di area itu. Saya kurang paham siapa saja yang terbaring di bawah sana, kemungkinan besar adalah orang yang masih merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga atau orang penting di masanya.

Makam-makam yang dapat ditemui dalam perjalanan
menuju Makam Sunan Kalijaga


Makam Sunan Kalijaga berada di kompleks tersendiri, terlindung oleh dinding setinggi setengah badan manusia dewasa. Saya harus melewati sebuah pintu kayu terlebih dahulu sebelum sampai ke makam tersebut.

Tradisi memegang atap pintu juga saya temui
di tempat ini. Entah siapa yang memulai, namun
di kalangan peziarah ada semacam kepercayaan yang
mengatakan barang siapa bisa memegang atap 
pintu makam maka harapannya akan terkabul.

Setelah melewati pintu, saya langsung bisa tahu manakah makam sunan yang dikenal pula dengan nama Raden Said itu. Makam sunan terletak tepat di tengah-tengah, dan dilindungi oleh pagar besi serta (lagi-lagi) beratapkan limas bertingkat.

Ratusan peziarah yang terbagi dalam kelompok-kelompok tampak telah menjubeli area di sekeliling makam. Mereka semua duduk sembari melantunkan ayat-ayat Al Quran sesuai arahan ketua rombongan masing-masing.

Pusara sang sunan dipadati oleh peziarah

Saya hanya bisa melihat mereka dari jauh, tepat di dekat pintu masuk. Saya merasa takjub. Para peziarah itu ada yang datang dari jauh, menempuh perjalanan berhari-hari di atas bus, dan kemudian begitu bersemangat merapalkan doa di depan pusara anggota Walisanga. 

Sejumput doa juga saya haturkan kepada Allah untuk sunan termuda dari sembilan wali itu. Saya sudah sering mendengar kehebatan Sunan Kalijaga dari berbagai sumber. Sebelum mengganti nama menjadi Kalijaga, putra Adipati Tuban ini pernah menjadi perampok dimana hasil rampokannya kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat jelata.

Di antara kesembilan wali mungkin Sunan Kalijaga inilah yang gaung namanya jauh lebih sering terdengar. Hal yang wajar mengingat hasil peninggalannya yang begitu luar biasa, seperti: Masjid Agung Demak, hingga syiar agama melalui wayang dan macapat. 

Kabarnya, Sunan Kalijaga juga berumur panjang sampai-sampai beliau menyaksikan sendiri keruntuhan berbagai kerajaan besar di Pulau Jawa pada waktu itu.

Dalam perjalanan pulang dari Makam Sunan Kalijaga, entah kenapa jadi timbul keinginan saya untuk bisa mengunjungi makam-makam lain dari Walisanga. Setahu saya, makam mereka tak hanya tersebar di Jawa Tengah. Ada pula yang dimakamkan di Jawa Barat atau Jawa Timur.

Melihat animo peziarah yang tetap saja besar di setiap makam sunan yang pernah saya kunjungi, kadang menciptakan tanda tanya besar dalam dada ini. Kenapa pengaruh Walisanga begitu besar bagi mereka sampai-sampai tradisi ziarah tersebut bisa berlangsung dari masa ke masa, diturunkan dari generasi ke generasi, dan tersebar dari mulut ke mulut?

Ini menarik. Dan saya harap, saya bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu suatu saat nanti.


Terima kasih sudah berkunjung dan mengikuti petualangan kami.


Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments:

  1. Mata saya langsung fokus sama dagangan camilan bapak2 yang pake peci itu... Kayanya enak. Yang coklat bentuk kotak panjang itu namanya apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu namanya jenang, mas. Kalau aku lebih suka yang warna-warni di depannya, mas. Tapi bikin gigi linu kalau kebanyakan makannya. :P

      Delete