Thursday, July 6, 2017

Ke Kota Tua Jakarta, Saya Pasti Kembali



"Karena pada akhirnya yang kita butuhkan hanyalah segenggam kesabaran dan setitik kepercayaan, percayalah semua akan datang waktunya..."


Sebagai seorang manusia yang memiliki hobi bertualang, tentu saya memiliki mimpi akan destinasi-destinasi wisata yang ingin saya kunjungi. Banyak orang menyebutnya bucket list, a must visit list, the itch list dan lain sebagainya - yang memiliki inti sama: sebuah mimpi. Terkadang mimpi ini bisa terdengar muluk-muluk, terkadang pula mimpi itu bisa terkesan sangat sederhana. Ada sebuah mimpi jalan-jalan saya yang akhir tahun lalu telah terwujud yakni mimpi untuk mengunjungi Kota Tua Jakarta.

Mimpi mengunjungi Kota Tua Jakarta sebenarnya adalah mimpi lama. Berulang kali bepergian ke ibukota, tapi selalu gagal untuk menyambanginya. Selalu saja ada alasan yang membuat saya menunda kunjungan kesana, dan senantiasa menyabarkan diri sembari berkata dalam hati - "mungkin lain waktu".

Dan pada akhirnya, mimpi saya terwujud akhir tahun lalu. Sebuah urusan dadakan yang mengharuskan saya ke Jakarta, memberikan bonus tambahan berupa kunjungan ke Kota Tua. Saya akui, kunjungan itu bisa tercapai berkat bantuan salah seorang tetangga saya yang kini bekerja di Jakarta - Dody.

Dody memang berperan besar dalam perjalanan saya kemarin. Saya bahkan menumpang menginap di rumah indekosnya yang terletak di Kuningan, Jakarta Selatan selama kurang lebih tiga hari. Tidak hanya rela menampung, ia bahkan mengajak saya untuk berjalan-jalan.

Pada 12 Desember 2016 pagi - tanggal yang kebetulan merupakan Hari Libur Maulid Nabi Muhammad SAW, kami berdua telah bersiap untuk menjelajahi Kota Jakarta. Tujuan pertama kami adalah menuju ke Monumen Nasional (Monas). Ide itu tercetus setelah saya berkata kepada Dody kalau saya belum pernah naik hingga ke lantai atas monumen tersebut.

Sayang beribu sayang, begitu sampai di Monas kami harus menelan kenyataan pahit: pintu gerbang masuknya tertutup rapat dengan sebuah tulisan pemberitahuan tertempel. Tulisan itu berbunyi kalau Monas tak beroperasi karena sedang dalam masa perawatan dan pembersihan rutin. Beuh. Usut punya usut, setiap Hari Senin memang jadwal maintenance-nya Monas.

Tak mau waktu terbuang sia-sia, kami lantas memutar otak dan bergegas mencari halte busway terdekat untuk menuju ke tujuan lainnya: Kota Tua Jakarta. Perjalanan dari Monas menuju Kota Tua sendiri tak begitu lama, paling hanya sekitar setengah jam. Saya kurang tahu apa itu waktu normal ataukah akibat jalanan yang terasa lenggang pagi itu.

Kota Tua Jakarta sendiri adalah suatu kawasan yang membentang sepanjang kurang lebih 1.3 kilometer persegi di antara Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kawasan ini dahulu dikenal sebagai Oud Batavia atau pusat kota Batavia (nama lain dari Jakarta) semasa jaman penjajahan Belanda dahulu. Kawasan tersebut kini telah berubah menjadi salah satu destinasi wisata penting di Jakarta, puluhan museum dan kafe menempati bangunan-bangunan sisa kolonial yang ada disana.

Seturunnya dari Trans Jakarta, kami berjalan mengikuti arus manusia menuju ke Lapangan atau Taman Fatahillah. Dody berkata dengan pelan untuk selalu mengawasi dompet dan barang bawaan saya karena banyak copet yang beroperasi di kawasan ini. Saya pun manggut-manggut dan berjalan mengekor di belakangnya.

Jalanan menuju Taman Fatahillah dipenuhi oleh pedagang yang menjajakan barang beraneka rupa, mulai dari suvenir hingga ke makanan. Melihat kepadatan pedagang dan pengunjung, rasanya saya mengerti kenapa para copet senang beraksi disini.

Saya dan Dody sempat berhenti di salah satu penjual cemilan dalam perjalanan menuju Taman Fatahillah. Saya memilih membeli sebungkus otak-otak goreng dengan saos merah cerah yang dihargai sebesar Rp 5.000,00 per bungkus. Ah, jadi teringat jajanan jaman SD dulu.

Otak-otak. Ada sedikit rasa ikan di tepungnya
yang agak alot itu.

Sejumlah seniman jalanan dengan memakai kostum beraneka macam, seperti pakaian para pejuang tempo dulu hingga lolita bisa kami temukan begitu mendekati Taman Fatahillah. Beberapa dari mereka ada pula yang menunjukkan trik-trik sulap, walau kebanyakan sekedar mengandalkan kostum mereka untuk menarik pengunjung agar berfoto bersama dengan biaya seikhlasnya.

Beberapa pengunjung tengah berfoto dengan salah seorang
seniman jalanan yang ada di Taman Fatahillah.

Saya dan Dody hanya berjalan melintasi seniman-seniman tersebut, sesekali kami berhenti begitu melihat seniman yang menarik perhatian. Kepadatan pengunjung semakin terasa di tengah area taman, apalagi kini ditambah dengan para pengunjung yang hilir mudik dengan memakai sepeda onthel sewaan beraneka warna. Kami berdua sampai kebingungan mencari spot foto untuk bisa berfoto dengan latar Museum Fatahillah - sang ikon dari Kota Tua Jakarta.

Taman Fatahillah di kala hari libur.


Meriam Sijagur dengan pose jarinya yang khas. Pose jari yang
sama dengan pose jari yang membuat saya digampar Papa
pakai sandal waktu kecil dahulu hanya karena bertanya:
"memang ini maksudnya apa, pah?"

Sayup-sayup terdengar pemberitahuan dari pengeras suara yang membuat saya sedikit kecewa. Katanya, seluruh museum utama yang ada di Kawasan Kota Lama juga tengah ditutup dengan alasan sama yakni maintenance. Aduh, kenapa kami kurang mujur sih hari ini?

Untungnya, informasi terdengar lagi dari pengeras suara yang mengabarkan kalau ada dua tempat yang masih beroperasi yakni Museum Bahari dan Menara Syahbandar. Saya bergegas memberitahu Dody dan mengajaknya untuk kesana.

Berdua kami berjalan menjauhi keramaian Taman Fatahillah dan melenggang lurus ke arah Pelabuhan. Saya seketika jatuh cinta dengan suasana jalan menuju kesana. Deretan toko dengan bangunan-bangunan tua sederhana yang catnya mulai mengelupas dan berlumut terlihat berdiri berjejer di sisi-sisi jalan. Sesekali, bus kota yang rangkanya sama berkarat dengan pintu atau teralis logam dari toko-toko itu melintas di jalanan sepi tersebut. Menampilkan para penumpangnya yang tampak kegerahan.

Jalanan menuju Pelabuhan 

Mencoba berfoto berlatar pertokon di salah satu gang. Saya
suka suasananya.


Seorang satpam bank yang kami tanyai arah justru mengarahkan kami untuk mampir ke Jembatan Kota Intan terlebih dahulu sebelum mendatangi Menara Syahbandar dan Museum Bahari. Katanya, kami hanya perlu berjalan lurus sebentar lalu berbelok kiri sebelum nanti melihat jembatan yang dibangun oleh VOC pada 1628 itu di dekat persimpangan jalan.

Kami harus sedikit berjalan memutar sebab pintu masuk untuk menuju Jembatan Kota Intan justru terletak di sisi belakang. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kepada petugas yang berjaga dan membayar sejumlah uang, kami pun dipersilahkan masuk dan mendekat ke jembatan.

Jembatan Kota Intan

Jembatan yang tak begitu panjang berwarna cokelat itu cukup memukau saya. Rangka besinya masih terlihat kokoh, sementara alas jembatan telah digantikan dengan kayu. Jembatan ini berdiri di atas Kali Besar yang airnya kini tampak hitam dan tak bergerak akibat endapan sampah.

Konon, Jembatan Kota Intan telah berganti nama dan direnovasi beberapa kali dari masa ke masa. Ia pernah dinamai Jembatan Inggris, Jembatan Pasar Ayam, Jembatan Ratu Juliana, hingga Jembatan Kumpeni. Nama Kota Intan yang kini disematnya berkaitan dengan nama Kastil Diamond yang dulu sempat ada dan berdiri di ujung jembatan.

"Dod, pokemonnya ketangkap?" 😜

Dari lokasi jembatan, kami berdua kemudian berjalan menyusuri jalanan kampung menuju ke Menara Syahbandar. Kami harus melintasi sebuah perkampungan kumuh dengan bangunan semi permanen berbahan triplek yang tersebar di bawah sebuah jalan layang, sebelum lantas berjalan kembali menyusuri jalan yang bersisian dengan sungai besar yang entah bernama apa.

Itu adalah kali pertama saya begitu dekat dengan slum area di Jakarta. Sejujurnya saya agak gemetaran ketika melintasinya, tapi untung saja saya tak sendirian dan para penghuninya begitu cuek ketika melihat kami berjalan melewati mereka. Beberapa bangunan tua besar yang tampaknya kini telah berganti fungsi menjadi gudang berdiri menemani kami sepanjang jalan. Salah satu bangunan tua yang berdiri tepat sebelum kami tiba di Menara Syahbandar sempat membuat kami berhenti sejenak -sebuah tulisan "Galangan VOC" terpampang di sudut atas dindingnya.

Salah satu bangunan tua dengan label
Galangan VOC.

Menara Syahbandar sendiri sungguh begitu mencolok mata. Menara setinggi sekitar 40 meter ini tampak angkuh berjaga di persimpangan dua sungai besar yang langsung mengarah ke arah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dulu, selain digunakan sebagai menara pemantau dan kantor pabean, Menara Syahbandar juga merupakan titik nol kilometer dari Kota Batavia.

Menara Syahbandar dari ujung jalan kecil
yang kami lewati.

Saya dan Dody sempat mengecek naik ke lantai paling atas menara. Di dalamnya tidak ada apa-apa, tapi dari lantai atas kami bisa melihat pemandangan Kota Tua Jakarta secara leluasa. Kami juga bisa melihat beberapa kapal nelayan yang tengah berlabuh, melihat mesin yang tengah membersihkan sampah di sungai, hingga melihat tujuan kami selanjutnya yakni Museum Bahari.

Dody galau. 

Pemandangan Pantai Utara Jakarta dari
atas Menara Syahbandar


Dengar-dengar, Menara Syahbandar dari waktu ke waktu terus bergerak miring. Faktor usia dari menara yang tahun ini genap berusia 178 tahun ditambah intensitas kendaraan berat yang melewati jalan besar di sebelahnya dianggap sebagai penyebab utama kemiringan menara tersebut.

Letak Museum Bahari tak begitu jauh dari Menara Syahbandar. Kami hanya perlu berjalan sekitar 300 meter melewati Jalan Pasar Ikan. Dari jauh, saya sudah terkesima dengan luas dan arsitektur dari museum ini. Ia terlihat cantik dengan puluhan jendela dan pintu besar yang melengkapinya.

Kompleks Museum Bahari yang terlihat bersih dan cantik.

Dari pintu masuk, kami langsung menuju ke ruangan yang menampilkan sejarah kebaharian dari masyarakat Indonesia, lengkap dari masa tradisional hingga ke jaman penjajahan. Replika kapal-kapal tradisional, peralatan navigasi dan kemudi kapal era kolonial, meriam dan persenjataan kapal, hingga sejarah tokoh maritim Indonesia dan TNI AL tersaji dengan apik di ruangan itu.

Lonceng kapal jaman penjajahan.

Tepat di ujung ruangan terdapat sebuah tangga menuju ke lantai dua museum. Kami pun berjalan menuju ke atas, dan disambut dengan sebuah film dokumenter tentang kemaritiman. Selanjutnya, berjajar patung-patung yang menggambarkan legenda atau tokoh laut baik di Indonesia maupun luar negeri.

Saya mengenali beberapa patung yang ada disana: The Flying Dutchman, Poseidon, Mermaid, Marcopolo, hingga Cheng Ho. Beberapa patung itu sejujurnya tampak mengerikan dan hidup di tengah suasana temaram museum. Di lantai kedua ini juga terdapat sebuah perpustakaan dan ruang koleksi rempah-rempah. Dulunya, museum ini memang digunakan oleh VOC sebagai gudang utama untuk menyimpan dan memilah hasil bumi.

Who's that guy?

Dody tengah menengok koleksi rempah-rempah

Ada sebuah tangga lagi yang akan membawa pengunjung menuju ke lantai paling atas museum. Letaknya lagi-lagi berada di ujung, dan sekilas melihat saja langsung menyadarkan saya untuk tidak usah naik ke atas. It was horrific. Saya yang penasaran sempat naik setengah jalan, tapi bergegas turun kembali - hanya ada lantai luas yang kosong, gelap, lembab, dan terasa panas. Ah, no thank you.

Kami lantas turun dan memutuskan menikmati museum dari halamannya. Saya girang bukan kepalang. Ada banyak jendela dan pintu besar yang bisa menjadi latar foto. Si Dody sampai geleng-geleng kepala dan mengatai saya memiliki fetish terhadap pintu atau jendela saking semangatnya saya memfoto dan meminta untuk difoto di depan pintu-pintu maupun jendela-jendela tertutup itu.

Halaman dari Museum Bahari. Cantik!

Jendelaaa. 💓💓

Foto bersama anak-anak sekitaran Museum Bahari yang
tengah asyik bermain sepak bola sore itu.

Gerimis yang tiba-tiba datang, membuat kami mengakhiri petualangan kami di Museum Bahari. Terlepas dari ketidakberuntungan kami hari itu, tapi saya tetap merasa bersyukur karena setidaknya mimpi lama saya untuk mengunjungi Kota Tua Jakarta akhirnya bisa tercipta.

Saya sendiri masih menyimpan setitik kepercayaan bahwa saya pasti akan kembali lagi kemari. Menggenapi mengunjungi beberapa tempat yang tak sempat didatangi karena tengah tak beroperasi hari itu. Benar, ke Kota Tua Jakarta saya pasti kembali, suatu saat nanti.


How Much To Enter =
1. Jembatan Kota Intan: Rp 5.000,00 per dua orang.
2. Menara Syahbandar: Rp 5.000,00 per orang.
3. Museum Bahari: Rp 5.000,00 per orang.


Dody = my savior! Terima kasih sudah berkunjung!

Maaf terlambat memposting dan Salam Kupu-Kupu. ^^d

4 comments:

  1. Yaaaah keduluan Satya, aku udah lama pengen kesini lagi. Dan rutenya sama: kota tua, jembatan intan sampe museum bahari. Lalu pelabuhan sunda kelapa juga asik kayaknya untuk disinggahi.
    Ah semoga tahun ini kesampaian :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kesini lagi?
      Kamu udah pernah ke Kota Tua Jakarta, Jo? Kok ndak ajak-ajak. :(
      Ayo jalan-jalan. Aku libur sampai tanggal 14 ini.

      Delete
    2. Udah pernah wkwkwk, tp belum puas karena baru jelahin seputaran museum fatahilah. Malah blm masuk satupun museum disana. Makanya PR banget kudu balik kesana hehe.

      Aku tgl 15 nanti ke jogja

      Delete
    3. Kayaknya kalau mau puas kudu nginep deh di kota tua. ada hotel kapsul sama hostel di area sini. serius museum-museumnya gak keburu kalau dihabisin dalam satu hari. dua atau tiga hari biar puas banget. aku malah penasaran pelabuhan sunda kelapanya.

      anuu, jo. aku liburnya masih sampai tanggal 14 Agustus, bukan Juli. buahahah. XD

      Delete