Tuesday, July 11, 2017

Sepakung Dan Perjalanan Yang Menghabiskan Kampas Rem



Nama Desa Sepakung sejujurnya baru pertama kali saya dengar dari Mbak Sekar - seorang teman baru yang saya dapatkan setelah kami sama-sama menjadi relawan dari Kelas Inspirasi Kota Salatiga tahun lalu. Pekerjaannya sebagai tour guide and planner, berhasil membuat saya iri luar biasa kepada dirinya. Bayangkan saja bisa jalan-jalan gratisan, masih dapat bayaran pula.

Untuk ukuran seorang wanita, Mbak Sekar ini memang agak eksentrik. Selalu memakai eyeshadow warna hitam tebal, sukses membuatnya terkesan misterius dan susah didekati pada pandangan pertama. Itu dulu, jauh sebelum saya bisa mengenal lebih jauh dan berjalan-jalan dengannya.

"Mas, masih di Salatigakah?", sebuah pesan mendadak muncul darinya via whatsapp pada suatu malam di awal tahun ini. Saya yang kebetulan tengah libur semester, tentu saja mengiyakan dan menanyakan ada apakah gerangan. 

"Aku pengin main ke Salatiga, mas. Bisakah menemani berkeliling?", tanyanya. Beuh, tentu saja. Apalagi saya juga tengah suntuk akibat kelamaan libur. Permasalahan selanjutnya: memang ia mau melihat apa?

"Sawah, mas. Apapun itu asalkan ada sawah-sawahnya". Jawabannya langsung membuat saya melongo. Sawah? Dan inilah keeksentrikan nomer dua dari seorang Mbak Sekar, ia begitu menggilai mengunjungi sawah. Err, bukannya sawah dimana-mana sama saja ya?

Beruntunglah saya, Salatiga memiliki beberapa tempat yang memang berbau sawah: mulai dari Rumah Makan Joglo Bu Rini hingga Wit Nganten, semuanya bernuansa tanaman padi dan tanah becek. Saya ajak ia kesana, lantas pada malam harinya menyempatkan nongkrong cantik bersama relawan lain Kelas Inspirasi Salatiga yang satu rombel (rombongan belajar) dengan kami berdua. Hari pertama Mbak Sekar di Salatiga pun berakhir.

Kumpul bersama relawan KI Salatiga Mangunsari 01.


***

Hari Kedua, saya berencana mengajak Mbak Sekar menuju lokasi favorit saya untuk melihat sawah. Suatu lokasi tak bernama yang selalu menjadi oase saya kalau tengah suntuk. Perjalanan kesana awalnya berjalan dengan lancar, hingga kemudian permasalahan datang menghadang. Bayangkan, akses menuju lokasi ngadem saya itu ditutup karena tengah ada hajatan pernikahan warga. Dih, Indonesia sekali!

Kami pun terpaksa memutar. Saya mencoba menyusuri jalanan kecil lain sambil berharap saya akan menemukan rute yang benar untuk menuju lokasi tersebut. Namun pada akhirnya saya menyerah. Jalan-jalan kecil khas pedesaan yang kami susuri tersebut lama kelamaan malah terasa bagaikan sebuah labirin.

"Duh, bagaimana ini mbak?", tanya saya pada Mbak Sekar. Jujur, saya sedikit merasa gagal menjadi seorang tuan rumah yang baik untuk dirinya. Mbak Sekar awalnya hanya diam membisu. Lalu terlontarlah ide lain dari mulutnya.

"Ada sih mas di dekat sini, tempat lain buat melihat sawah. Namanya Sepakung. Tapi...", jawabnya tertunda.

"Tapi kenapa, mbak?", saya bertanya penuh selidik. Itu adalah kali pertama mendengar nama Sepakung seumur hidup saya.

"Motornya mas, remnya oke kan? Jalanan buat kesananya serem, mas. Seriusan deh.", Mbak Sekar menjawab dengan sedikit meragu.

Tak ingin mengecewakan Mbak Sekar kembali, saya pun mengiyakan saja ajakan darinya. Bukannya sombong, tapi jejak petualangan saya dengan motor sudah lumayan panjang. Beberapa jalanan mengerikan, tanjakan atau turunan curam sudah pernah saya temui. Kondisi apalagi yang harus saya takutkan?

"Aku sudah mengingatkan pokoknya loh, mas.", peringatan terakhir keluar dari mulut Mbak Sekar ketika motor matic saya mulai melaju menuju ke arah jalan besar Salatiga-Banyubiru.


***

Sepakung sebenarnya adalah nama sebuah desa yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Banyubiru. Desa ini memiliki luas setidaknya mencapai 876 hektar, dan berada di ketinggian hampir mencapai 1.100 Mdpl. Pada tahun 2015, Sepakung resmi bergelar desa wisata meskipun gaungnya baru terdengar di awal tahun ini.

Perjalanan menuju Desa Sepakung sendiri memang cukup mendebarkan. Selepas memasuki jalan seukuran dua mobil bersisian di pinggir Jalan Salatiga-Banyubiru, kondisi jalan perlahan-lahan mulai menanjak.

"Ini masih belum ada apa-apanya loh, mas. Nanti masih ada tanjakan curam sama tanjakan zig-zag. Pokoknya hati-hati saja!", kata Mbak Sekar setengah berteriak dari jok belakang. Saya hanya bisa menganggukkan kepala sembari tetap fokus kepada jalanan yang memang bagai tanjakan tak berkesudahan.

Deretan pohon cemara yang menghiasi sisi-sisi jalan bahkan tak begitu saya gubris akibat sibuk memperhatikan jalan. Kalau boleh jujur, saya sempat mengutuki diri sendiri yang di awal perjalanan sempat menyepelekan. Ternyata, Mbak Sekar tidak berbohong. Jalanannya memang aduhai sekali.

"Alhamdulillah, jalanan barunya sudah jadi mas. Kita ndak perlu melewati tanjakan zig-zag", celoteh Mbak Sekar sambil menunjuk bekas jalan kecil berbentuk huruf "z" bertingkat yang mulai tertutupi oleh semak belukar. 

Saya otomatis memperlambat laju motor dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mbak Sekar. Alhamdulillah. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau kami harus melewati tanjakan zig-zag itu. Kata Mbak Sekar, waktu ia kesana dan tanjakan tersebut masih berfungsi - beberapa orang sempat terjatuh. Ia bahkan sampai meminta bantuan pemuda sekitar untuk menuruni tanjakan, saking takutnya.

Total waktu tempuh untuk bisa sampai ke Desa Sepakung dari ujung jalan masuk mencapai sekitar setengah sampai 40 menitan. Saya lupa pastinya, tapi yang jelas memang saya berjalan pelan-pelan akibat jalan yang mayoritas menanjak.

"Anda Memasuki Kawasan Tanpa Sinyal Seluler". Sebuah papan kayu sederhana menyambut kami begitu mulai memasuki desa. Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Sepakung adalah ketiadaan sinyal. Kata Mbak Sekar, interaksi antar penduduk justru semakin terasa berkat ketiadaan sinyal - para orang tua bebas bercengkerama, sementara anak-anak bermain dengan riang gembira di halaman.

Brace yourself!

Saya pun coba mengecek gawai, seluruh operator seluler yang saya pakai keok, meninggalkan peringatan "emergency calls only" di ujung kiri atas layar. Mbak Sekar lantas mengajak saya ke salah satu tempat andalannya di Desa Sepakung. Sebuah tempat bernama Kali Kulon.

Udara dingin khas daerah yang memiliki elevasi tinggi sesekali bertiup dan membuat saya kedinginan. Jarak antara batas masuk desa sampai ke Kali Kulon ini tak begitu jauh, hanya memakan waktu 5 menit berkendara.

Saya awalnya berpikir tempat yang akan kami kunjungi bakal berupa sungai kecil sebagaimana namanya. Tapi, saya salah. Tak ada tanda-tanda sungai sama sekali, yang ada hanyalah sebuah gubuk sederhana dan sebuah rumah pohon yang berdiri tepat di atas sebuah mbelik - sejenis mata air kecil yang digunakan warga untuk mandi, mencuci, dan lain sebagainya.

Mana sungainya? *krik-krik*

Airnya dingin sekali. -_-

Saya sempat bergeming. Pertama, ada seseorang yang tengah mandi di mbelik itu ketika kami tiba. Tentu kami tidak mungkin langsung melenggang menaiki tangga menuju rumah pohon, bisa-bisa diteriaki sebagai pengintip. Kedua, sejujurnya saya punya ketakutan dengan ketinggian.

"Ayo mas, naik", kata Mbak Sekar mantap semantap pijakannya menaiki anak-anak tangga dari bambu untuk menuju ke atas rumah pohon. Oh, tentu saja kini sudah tidak ada penduduk yang sedang memakai mbelik sehingga kami bisa naik ke atas.


Rumah Pohon (?) Kali Kulon.

Setelah mengumpulkan keberanian, saya pun mulai menaiki anak-anak tangga itu satu per satu. Saya menaiki tangga dengan ritme yang begitu pelan dan langsung membuat Mbak Sekar mengetahui kalau saya punya ketakutan terhadap ketinggian. Ia pun menyemangati saya sambil duduk-duduk santai di ujung kanan rumah pohon.

Rasa lega seketika merasuki diri ini begitu berhasil sampai di atas rumah pohon. Sebenarnya, bukan rumah pohon juga sih. Konstruksinya terlalu sederhana untuk disebut rumah pohon. Gardu pandang atau gubuk pemantau yang sering dipakai oleh para petani untuk mengawasi sawah mungkin lebih cocok disematnya.

Damai. Itu kesan yang saya dapatkan saat berada disana. Sejauh mata memandang, kami bisa melihat area sawah penduduk berlatarkan deretan gunung-gunung yang tampak begitu dekat. Awan mendung, kabut yang perlahan mulai turun, angin dingin yang berhembus, dan suara gemericik air dari mbelik di bawah kami menciptakan kombinasi kedamaian maha sempurna.

Potret kedamaian yang HQQ. 💃💃

Kalau sudah di atas, malas turun sebenarnya.

Kalau tak teringat harus bergantian dengan pengunjung lain, rasanya  kami betah berlama-lama untuk berada di atas rumah pohon. Kami pun turun dan beralih duduk santai pada titik tengah sebuah jembatan batang kayu yang melintang di atas sebuah kolam. Kami masing-masing mencelupkan kaki dan merasakan airnya yang begitu dingin.

Namun entah kenapa dinginnya air perlahan-lahan mulai menghilang, berganti kembali dengan kedamaian. Saya akhirnya tahu kenapa Mbak Sekar begitu menggilai sawah. Sawah memang ajaib. Ia bisa mencitrakan banyak hal: mulai dari potret kerja keras para petani, refleksi kesederhanaan, kehangatan, dan tentu saja kedamaian. Di atas jembatan batang kayu itu, kami saling bertukar cerita - menyampaikan keluh kesah atau permasalahan yang tengah dihadapi oleh kami berdua.

Mbak Sekar di atas jembatan batang kayu.

Sebelum pulang, kami menyempatkan untuk mengisi perut dengan aneka gorengan yang dijajakan oleh seorang penduduk di sebuah tenda sederhana. Jangan membayangkan tempe mendoan, bakwan, tahu isi dan lain sebagainya karena yang dijual wanita ini adalah gorengan yang jamak dijumpai di depan sekolah dasar. Harganya yang hanya lima ratus hingga seribu rupiah per tusuk sukses membuat kami kalap.

💕💕💕


***
Apakah kalian tahu? Perjalanan pulang dari Sepakung adalah salah satu perjalanan paling mengerikan yang pernah saya lakukan. Tanjakan-tanjakan yang tadi kami lewati, kini berubah menjadi turunan yang begitu mengerikan.

Selain curam dan panjang, turunan-turunan ini kadang berbelok tajam. Di beberapa ruas, pinggir-pinggir turunan langsung menghadap ke jurang tak berpembatas. Saya sampai harus mempermainkan rem - kadang menarik kuat, lalu melepasnya lagi - untuk sekedar memperlambat laju motor yang seketika berubah bagaikan roller coaster. Hal ini diperparah dengan langit yang terus menggelap akibat mendung tebal.

Dan, momen yang paling ditakutkan oleh para pengendara pun tiba. Saya merasakan betul tak ada lagi kekuatan cengkram dari rem yang daritadi saya mainkan. Remnya blong! Saya otomatis menurunkan kaki dan mengarahkan motor menuju ke area landai di salah satu sisi jalan. Untung saja motornya mau berhenti.

"Kenapa, mas? Remnya blong?", tanya sepasang penduduk yang hendak naik ke Desa Sepakung ketika melihat kami yang berhenti di pinggir jalan dengan muka saya yang mulai memucat. Mbak Sekar berinisiatif memakai air mineral yang ia miliki untuk menyiram ke arah kedua roda motor.

"Itu loh mbak, disiram di roda depan pas cakramnya. Biar dingin.", kata salah seorang dari penduduk tadi. Ya, mereka sengaja berhenti sejenak dari perjalanan untuk membantu kami. Mereka terus menenangkan kami. Katanya, rem blong adalah hal yang lumrah terjadi disana.

Ada mungkin sekitar 15 menitan kami berhenti, sebelum saya memberanikan diri untuk meneruskan perjalan kembali.

"Nanti, pelan-pelan saja mas jalannya. Jangan digas. Sudah hampir sampai bawah kok.", kata dua penduduk yang membantu sebelum kami berpamitan. Saya pun mengangguk dan mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka. Ah, saya tak bisa bayangkan jadi mereka - setiap hari harus melewati tanjakan dan turunan mengerikan semacam ini.

Anehnya, begitu sampai ke bawah. Rem yang tadi serasa tak berdaya, eh berangsur-angsur mulai bisa dipakai kembali. Walau memang rasanya jadi tidak sebertenaga ketika pertama kali kami berangkat menuju ke Desa Sepakung. 

Benar memang, ada pengorbanan yang harus kita bayar untuk bisa mendapatkan keindahan. Dan, pengorbanan yang harus saya berikan dalam perjalanan ke Sepakung kali itu adalah berwujud kampas rem. 😁😁


How Much To Enter:
1. Tiket Masuk Rumah Pohon Kali Kulon: Rp 4.000,00 per orang.
2. Tiket parkir: Rp 2.000,00 per motor.



Terima kasih sudah berkunjung!


Maaf terlambat posting dan Salam Kupu-Kupu. ^^d

2 comments:

  1. Sawah itu satu lagi Sat: sumber penghidupan, sbg pangan dan mata pencaharian.

    Aku jg pernah turun dr gunung kendil, banyubiru juga, blong pake matic sih. Untung blongnya udh sampe bawah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh iya bener. Aku rasa selama ini terlalu meng-understimate sawah.

      Ah, kapan kamu ke Gunung Kendil? Apa kabar ia sekarang?
      Ini kayanya memang penyakitnya motor matic deh. Aku udah beberapa kali sebenarnya ngalamin beginian, cuma ke Sepakung ini yang paling horor. -_-

      Delete