Sudah sekitar dua harian ini cuaca di kota saya, Salatiga, cerah luar biasa. Hal yang bisa dikatakan langka mengingat ketika musim penghujan datang, kota saya biasanya nyaris selalu diguyur hujan setiap hari. Cuaca cerah yang kebetulan datang di penghujung minggu, membuat saya dan Yanta teringat oleh rencana pendakian bukit kami yang gagal seminggu lalu. Kami berdua pun coba menghidupkan kembali rencana tersebut jika cuaca esok hari (Sabtu, 15 Maret 2014) cerah sedari pagi. Ternyata, Tuhan mendengar doa dan harapan kami. Sabtu ini langit tampak cerah sejak pagi. Kami berdua segera bersiap, rencana kami mendaki Bukit Kendil di Banyubiru harus dieksekusi hari itu juga. Yah, kami tak akan pernah tahu kapan cuaca cerah akan menyapa kembali, bukan?
Bisa dikatakan, pengetahuan kami berdua tentang Bukit Kendil terbilang minim sekali. Pasalnya, belum banyak orang yang pernah mendaki kesana dan informasi yang beredar di internet nyaris tidak ada. Kami cuma modal nekat. Sempat terjadi perdebatan di antara kami ihwal letak bukit tersebut, bagaimana tidak, dari daerah Muncul ke Banyubiru saja banyak terdapat bukit sehingga sangat membingungkan kami. Saya pun menyerahkan semua keputusan kepada Yanta. Saya mengekor di belakang ketika Yanta mengajak untuk menuju ke daerah Banyubiru terlebih dahulu.
Beberapa warga setempat yang kami tanyai sempat mengernyitkan dahi saat ditanyai letak "Bukit Kendil", Yanta bahkan sempat menunjuk salah satu bukit yang dianggapnya sebagai bukit yang hendak kami tuju. Seorang warga kemudian terlihat mengingat-ingat, "Oh Gunung Kendil! Itu yang sebelah sana mas bukan yang itu", selorohnya membenarkan. Rupanya, warga di sekitar Banyubiru lebih sering menggunakan istilah gunung daripada bukit untuk menyebut destinasi tujuan kami. Ah, saya manggut-manggut. Saya jadi tersadar, Indonesia adalah negara dimana para penduduknya masih sering mengkotak-kotakkan sesuatu. Sesama Warga Negara Indonesia saja sering mengkotak-kotakkan diri berdasarkan SARA dan kedudukan, apalagi ini masalah gunung dan bukit. Saya pun merubah cara pandang terhadap rencana kami hari itu. Kami berdua-sesuai dengan istilah yang digunakan para penduduk Banyubiru-hendak mendaki Gunung Kendil.
Papan penunjuk arah Gunung Kendil, sayang dipaku di pohon :( |
Pemandangan sepanjang jalan menuju Desa Gesing |
Berkat kecermatan Yanta serta bantuan petunjuk dari penduduk sekitar, akhirnya kami sampai di suatu desa dimana terdapat jalan tanah menanjak yang tampak mengarah ke suatu gunung kecil. Desa Gesing namanya. Yanta kemudian bertanya kepada seorang wanita tua yang tampak hendak mencari rumput di atas sana. Jawaban yang kami peroleh sungguh menenangkan sekaligus mengejutkan. Katanya, benar jalan tanah ini memang menuju ke Gunung Kendil tapi motor kami tidak bisa dipakai menanjak karena jalannya licin. Seorang wanita tua lain yang melihat, akhirnya mempersilahkan kami untuk memarkirkan motor di pelataran rumahnya. Kami berdua sungguh tertolong atas kebaikan beliau.
Rumah penduduk penolong kami berlatar Gunung Kendil |
Jalan tanah menanjak super licin |
Jalan tanah sampai ke atas Gunung |
Tak ada yang tahu pasti berapa ketinggian gunung ini, anggapan kami berdua tingginya sekitar 850-900an mdpl. Ini didasarkan pada pembandingan tinggi Gunung Kendil dengan Gunung Telomoyo yang tampak ada di belakangnya. Dari kejauhan, salah satu sisi Gunung Kendil terlihat gundul karena telah diolah warga menjadi ladang. Warga Desa Gesing memang mayoritas mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai mata pencaharian mereka. Salah satu komoditas utama disini adalah tanaman aren. Tanaman yang masih satu famili dengan kelapa ini begitu mudah ditemukan sepanjang jalan tanah menanjak hingga ke Gunung Kendil sendiri. Kami berdua bahkan sempat ditemani mendaki oleh salah seorang warga yang hendak menderes pohon aren miliknya yang berada di salah satu bagian gunung.
Pohon aren |
Bapak penderes aren yang sempat menemani pendakian kami |
Walau tingginya tidak kolosal, tapi jangan remehkan rute pendakian Gunung Kendil. Di awal jalur saja kami berdua sudah harus berhadapan dengan tanjakan yang kata Yanta, derajat kemiringannya sekitar 75 derajat. Untung saja para penduduk sudah berbaik hati menciptakan anak-anak tangga dari awal jalur pendakian hingga puncak. Namun tetap saja, kami harus super waspada karena selain tanah licin juga lebatnya vegetasi tanaman terkadang menutupi jalur. Di beberapa bagian, jalur yang kami pijak bahkan hanya selebar dua telapak kaki saja dan langsung berbatasan dengan jurang. Saat berpapasan dengan penduduk yang mencari rumput hingga ke atas gunung, kami berdua sampai harus balik mundur untuk mempersilahkan mereka lewat terlebih dahulu.
Yanta dan Bapak Penderes Aren di tanjakan curam |
Lihatlah, betapa lebat vegetasi tanaman yang harus saya tembus |
Nenek yang mencari rumput hingga ke atas Gunung |
Puncak Gunung Kendil mulai kelihatan |
Ada sekitar satu jam waktu yang kami butuhkan untuk naik sampai ke puncak. Luapan kegembiraan langsung saya lampiaskan di atas sana mulai dari berteriak heboh hingga tertawa senang. Si Yanta yang telah sibuk membidikkan kameranya ke berbagai penjuru, tampak sekali melirik dengan penuh kebingungan. Maafkan saya. Saya tengah dilanda euforia berlebih. Belum lagi pemandangan yang bisa dilihat dari puncak sungguh membuat saya berdecak kagum. Bayangkan saja pemandangan di kanan, kiri, depan, belakang bisa berbeda-beda. Di sisi depan saya bisa melihat keindahan Rawa Pening, sisi kiri saya bisa melihat hutan-hutan lebat diikuti dengan deretan rumah penduduk, sisi kanan tersaji pemandangan hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning, dan sisi belakang tampak berbagai gunung berdiri dengan gagahnya. Keren banget! 360 derajat view bisa berbeda sekali. Sayang, kami berdua hanya bisa berada di puncak sebentar saja karena awan mendung pekat mendadak muncul entah darimana.
Batu penanda puncak |
Rawa Pening di kejauhan, sayang berkabut :( |
Sawah mulai menguning |
Gunung-gunung megah di belakang Gunung Kendil |
Bagian lain Gunung Kendil yang tak bisa kami jamah |
Pemandangan yang bikin adem |
Bunga-bunga liar nan cantik yang kami temui |
Buat saya, rasanya bagaikan menang undian berhadiah saat kami berdua bisa sampai di bawah dengan selamat. Rasa senang saya bahkan jauh lebih besar saat sampai di puncak tadi. Dalam perjalanan mengambil motor, saya sempat menengok kembali ke arah Gunung Kendil. Setengah tak percaya kalau kami berdua telah berhasil menginjakkan kaki di puncaknya walau dengan bekal informasi yang serba minim. Pengalaman pendakian kali ini membuat saya ingin menyematkan gelar secara pribadi kepada Gunung Kendil sebagai gunung kecil yang penuh tantangan. Tapi percayalah, tantangan-tantangan yang kami berdua rasakan terbayar lunas oleh seluruh keindahan yang bisa kami nikmati dari atas sana. It's all worth it.
Selfie at the top of Mount Kendil. hahahah :D |
NOTE:
1. Masih ingat cerita saya dan dua teman jalan menyambangi Curug Kembar Baladewa disini? Kami sempat salah jalan dan ternyata jalan menuju Gunung Kendil adalah jalan dimana kami tersesat saat itu. Heheh. Jadi, gampangnya: Kalau dari Salatiga/Ambarawa yang penting pergi ke arah Banyubiru dulu. Selanjutnya ada pertigaan besar dengan plang Curug Kembar Baladewa, ikuti saja jalan itu. Jangan belok-belok, lurus saja terus sampai nanti ketemu papan penunjuk arah Desa Puwono. Ikuti petunjuknya sampai ke Desa Gesing. Desa Gesing ini terletak tepat setelah Desa Puwono. Nanti tanya saja sama penduduk sekitar, jalur pendakian Gunung Kendil begitu. :)
2. Paling pas kalau kesana adalah saat musim panas/kemarau. Selain jalanan tidak licin, pemandangan di sekeliling Gunung Kendil juga akan terlihat dengan jelas karena tidak tertutup awan ataupun kabut. Err, kalau tetap mau nekat naik saat musim penghujan seperti kami kemarin. Saran saya: berangkatlah sedari pagi, jalan pelan dan waspada, pakai sandal atau sepatu gunung, pakai celana panjang plus jaket sebagai pelindung dari hawa dingin dan semak belukar nan gatal, serta bawa mantel.
3. Last: Ramahlah kepada gunung, kepada alam, serta kepada masyarakat lokal. Jangan buang sampah sembarangan ya.
Salam Kupu-Kupu ^^d
P.S. All photos without watemark were captured by Yanta
baca postinganmu jadi ingat masa dulu abaaang...hahaha..pingin banget bisa naik gunung bareng lagi...ahh nggak papa yanta pasti juga udah maklum kalau kamu dilanda euforia berlebihan...aku jga pasti bakalan begitu...kalau aku pulang kita harus mainn mainn ya kakaaaak...salam lebah!! :D
ReplyDeleteahahah iya yaa, apalagi ini kan letaknya deket sama Curug Kembar Balaewa yang dulu kita kunjungi meykke.
Deletesip sip!
salam capung! XD