Bus DAMRI yang kami berdua tumpangi mulai berjalan meninggalkan Bandara Internasional Lombok. Siang itu jalanan tampak lenggang sehingga bapak sopir melajukan bus dengan lumayan kencang dan agak ugal-ugalan. Saya jadi teringat perjalanan Solo-Surabaya kemarin malam dengan menggunakan Bus Sumber Selamat. Gaya menyetir sopir bus DAMRI ini mirip sekali dengan gaya menyetir sopir Sumber Selamat. Sempat kaget juga, apalagi ukuran busnya kan jauh lebih kecil, ditambah bapak sopir gemar sekali memainkan klakson sepanjang jalan. Bus yang semula penuh perlahan-lahan menjadi sepi karena satu persatu penumpang turun selama perjalanan. Hanya tersisa lima orang penumpang termasuk kami berdua yang turun di pemberhentian terakhir bus, Senggigi-salah satu pusat kawasan turis di Pulau Lombok.
Perjalanan dari bandara menuju Senggigi membutuhkan waktu selama satu setengah jam, persis dengan apa yang diperkirakan oleh petugas tiket bus. Kami semua diturunkan di depan sebuah hotel besar. Buat saya dan Uul, tantangan dimulai begitu kami turun dari bus. Pasalnya, kami belum tahu hendak menginap dimana dan akan memakai apa untuk bisa mengelilingi Senggigi yang luasnya lumayan ini.
Awalnya sih, kami sepakat mencari sewa motor terlebih dahulu. Namun setelah menclok ke berbagai rental motor, kami berdua semacam mendapat penolakan halus dari para pemilik rental gara-gara belum tahu hendak menginap dimana malam ini. Salah seorang pemilik rental mempersilahkan kami untuk mencari tempat menginap dahulu baru kembali lagi ke rentalnya. Perburuan kami pun berganti dari semula mencari persewaan motor ke mencari tempat menginap. Tidak mudah untuk bisa mendapatkan tempat menginap sesore itu, apalagi Bulan Agustus termasuk peak season-nya Senggigi. Harga-harga jadi melambung tinggi dan banyak kamar yang telah penuh. Setelah keluar masuk gang dan menyusuri jalan raya akhirnya pilihan kami berdua jatuh ke Sonya Homestay. Dua kamar tersisa langsung kami sikat mengingat hari sudah semakin sore.
Deretan kamar di Sonya Homestay. Bukan penginapan murah terbaik yang pernah saya pakai, tapi saya suka kebunnya! |
Singkat cerita, kami kembali lagi ke jalanan untuk mencari rental motor. Kami memutuskan sewa motor di sekitaran Hotel Ellen karena harganya yang bisa ditawar, kondisi motor oke, dan pemiliknya super ramah. Berbekal motor matic sewaan itulah kami memulai perjalanan kami menyisir Kawasan Senggigi.
Terkecoh Oleh Bukit Malimbu
Nama Bukit Malimbu gencar sekali dipromosikan oleh bapak pemilik rental sebagai tempat paling cantik untuk menikmati sunset di Senggigi. Letaknya juga tidak terlalu jauh sehingga kami bisa mengejar momen matahari tenggelam jika memakai motor. Tergiur oleh cerita si bapak, saya langsung memacu motor menuju ke arah Bukit Malimbu.
Perjalanan dari tempat sewa motor menuju Bukit Malimbu memang cukup singkat, hanya sekitar 15 menitan dengan melewati berbagai macam pantai dan resor-resor mewah sepanjang jalan. Setelah melewati tanjakan besar, kami melihat ada puluhan orang yang tampak berhenti di pinggir jalan. Nama "Bukit Malimbu Indah" terpampang pada papan penunjuk di sekitar kumpulan orang itu.
Beberapa orang tampak tengah menanti sunset |
Dan ini dia sunsetnya -__- |
Hah? Ini Bukit Malimbu-nya? Saya pikir karena namanya pakai embel-embel bukit, maka bakal berwujud seperti bukit. Eh, tapi ternyata cuma jalan sepanjang 100 meteran di atas tebing dengan view langsung menghadap laut. Entah apa kami salah tempat atau bagaimana, tapi papan penunjuk tadi jelas-jelas menunjukkan nama Bukit Malimbu.
View lain dari Bukit Malimbu versi pinggir jalan |
Panorama matahari terbenamnya juga bisa dikatakan biasa saja, mungkin kami yang kurang beruntung karena petang itu memang sedikit mendung. Saya dan Uul akhirnya cuma bisa sedikit bengong, sebelum akhirnya memutuskan mengambil beberapa foto dan segera cabut menuju ke salah satu pantai yang telah kami lewati dalam perjalanan menuju tempat ini tadi. Well, indeed sometimes reality doesn't match with your expectation.
Senja Magis Di Pantai Tak Bernama Dan Sedikit Sentuhan Horrornya
Hari sudah semakin petang saat kami berdua memasuki pelataran pantai yang saya kurang paham apa namanya. Puluhan tanaman kelapa menyambut dengan tarian dedaunan mereka. Pantai ini sepi sekali, hanya ada kami berdua yang tengah dibius oleh pesona senja. Ombak datang berderu-deru dan semakin mendekati malam, semakin terasa kencang.
Senja dari pantai tak bernama ini benar-benar cantik. Warna ungu, kuning dan merah muda berpadu apik di atas langit. Bulan sabit kecil ikut menghiasi langit dan menambah pesona magis yang ditawarkan. Entah karena pantulan dari cahaya senja atau bagaimana, tapi pasir pantai yang kami berdua pijak tampak berwarna kemerahmudaan. Rasanya ini yang pantas disebut tempat terbaik menikmati senja. Batin saya waktu itu.
Pasirnya pink kan? Atau gara-gara cahaya? |
Senjanya magis! |
Bagian horrornya? Ah, anggaplah mungkin saya sedang berhalusinasi tapi saya yakin sekali mendengar sesuatu yang sedikit janggal kemarin. Kejadian ini terjadi saat ingin mengabadikan diri kami dengan bantuan tongkat narsis. Posisi kami saat itu tengah membelakangi pantai karena memang berniat hendak mendapatkan latar ombak di foto. Nah, waktu sedang asyik inilah mendadak terdengar suara hardikan tepat dari arah belakang kami. Suara laki-laki dengan nada yang berat. Tentu saja saya kaget, dan langsung menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada pantai tenang di belakang kami. Duh, bulu kuduk saya langsung berdiri seketika. Tanpa ba-bi-bu, saya langsung mengajak Uul untuk segera cabut dari tempat itu dengan alasan hari sudah semakin malam. Padahal kan.... *kabur*
Ini nih foto sebelum "suara" itu muncul |
Menikmati Pagi Dari Pantai Coco
Namanya lucu ya? Pantai Coco. Lagi-lagi kami disambut puluhan tanaman kelapa begitu memasuki pelataran pantai, mungkin karena ada banyak tanaman kelapa inilah kenapa pantai ini dinamakan demikian. Berbeda dengan pantai yang kami kunjungi sebelumnya, fasilitas disini lebih terasa lengkap. Ada taman dengan gazebo-gazebo kecil, ada juga rumah-rumah makan sederhana yang masih belum buka ketika kami sampai disana.
Pintu masuk Coco Beach bercabang dua |
Liat warna air di ombaknya, biru muda :) |
Pagi itu cuaca kembali mendung, dan matahari belum keluar dari peraduannya. Kondisi Pantai Coco masih sepi, hanya ada kami berdua ditambah seorang pria muda yang tengah sibuk lari pagi menyusuri pantai. Ingin rasanya ikutan tapi mengingat perjalanan hari ini masih panjang, maka niatan tersebut saya urungkan.Omong-omong soal pasir pantai, pasir Pantai Coco berwarna hitam. Eits, jangan kecewa dulu. Walau warna pasir pantainya kurang menarik, tapi lihat dulu gradasi warna air laut yang cakep banget. Ini kali pertama saya melihat kombinasi pantai yang memiliki pasir warna hitam dengan air laut berwarna biru muda.
Uul beraksi |
Salah Masuk Ke "Pantai Senggigi"
Sebuah papan berukuran medium bertuliskan nama "Pantai Senggigi" membuat kami berdua sukses mengikuti jalan masuk pendek yang berujung kepada deretan rumah makan. Setelah memarkirkan motor di depan salah satu rumah makan yang juga belum buka, kami berjalan menapaki anak-anak tangga untuk menuju ke Pantai Senggigi.
Lolongan tiga ekor anjing liar sempat mengagetkan dan membuat nyali sedikit kendor. Untung saja ketiga ekor anjing itu hanya menyalak tanpa berlari mengejar sehingga kami bisa bebas menikmati pemandangan. Kesan pertama? Err, mungkin kesalahan orang yang sering jalan-jalan adalah mau tidak mau, suka tidak suka, sadar atau tidak, membandingkan satu tempat dengan tempat lainnya. Ini pulalah yang saya alami. Maaf, tapi Pantai Senggigi yang saya lihat pagi itu, bisa dibilang biasa saja. Dengan garis pantai yang tidak terlalu panjang (itupun sudah dikotak-kotak sama beberapa resor), dan warna pasir yang hitam membuat saya jadi kehilangan selera. Perasaan kalau cari informasi di internet, foto-foto Pantai Senggigi selalu cantik deh. Ada dermaganya, ada pasir putihnya, ada laut dengan air berwarna biru mudanya. Tapi ini kok?
Pantai Senggigi Baru |
Kapal lucu nih |
Kata Uul, itu nelayan yang berdiri paling ujung sengaja biar menjadi obyek foto kami |
Usut punya usut, ternyata kami salah masuk. Kata teman saya, Uma-teman jaman SMA yang kini merantau di Pulau Lombok, Pantai Senggigi ada dua. Gampangnya, Senggigi Lama dan Senggigi Baru. Nah, pantai yang kami kunjungi itu ternyata Pantai Senggigi Baru. Saking barunya sehingga ya cuma gitu aja. Sedangkan Pantai Senggigi yang ada dermaga dan sering jadi obyek berburu sunset itu adalah Senggigi Lama. Mendengar penjelasan dia, saya dan Uul hanya bisa ber-ooo ria. Yah, belum beruntung lagi.
Pura Batu Bolong: Secuil Bali di Tanah Lombok
Seorang pria tua berpakaian adat Hindu menyambut kami ramah sembari menyapu jalanan sekitar pintu masuk Pura. Setelah membayar dana punia seikhlasnya, bapak itu memakaikan kami kain merah di pinggang sambil menjelaskan secara singkat apa yang akan kami lihat di balik gapura. Ada anak tangga mengarah ke atas dan anak tangga mengarah ke bawah begitu kami berjalan masuk melewati gapura tersebut.
Kata bapak tadi, arah atas mengarah ke sebuah pura kecil sedangkan arah bawah langsung menuju ke batu bolong (batu berlubang). Kami berdua sepakat menuju ke arah atas terlebih dahulu. Di atas, ternyata ada pura kecil yang saya kurang paham apa namanya dan diperuntukkan untuk siapa. Saya menemukan kedamaian saat berada di tempat ini, mungkin gara-gara letaknya yang berada di atas dan dikelilingi pepohonan rimbun.
Pura atas |
Seusai dari atas kami segera berjalan menuju ke arah batu bolong. Namun, kami sempat berhenti sebentar di pura lain yang terletak tepat di dekat anak tangga menuju ke atas tadi. Kalau tidak salah dinamakan Pura Ratu Gede Mas Mecaling. Ada beberapa arca berbentuk wanita mengelilingi tembok pura ini.
Pura Gede Ratu Mas Mencaling |
Berjalan sebentar menuju arah bawah, akhirnya kami bisa melihat batu bolong. Batu vulkanik besar yang berlubang di bagian tengah dan berukuran selebar satu manusia dewasa terlihat menjulang. Di bagian atas terdapat pura utama dari kompleks Pura Batu Bolong ini. Sayang, saat hendak naik ke atas ada tulisan yang menghentikan kami. Bunyinya kurang lebih, "dilarang masuk kecuali untuk sembahyang". Niatan untuk melihat-lihat akhirnya kami urungkan. Sebagai gantinya, kami duduk pada jalan kecil di sebelah pura dan melihat lautan bebas. Ah, rasanya saat itu saya sedang jalan-jalan di Bali dan bukan di Lombok.
Saya di dalam Batu Bolong. |
Pintu masuk pura utama |
Iseng melewati batu bolong, kami berdua dikejutkan dengan adanya pantai cantik tepat di sebelah kompleks pura. Pantai berpasir hitam ini benar-benar sepi dengan ombak lumayan kencang datang bergantian menghantam pesisirnya. Pura Batu Bolong juga terlihat lebih menawan bila disaksikan dari pantai ini. Andai kami punya waktu lebih lama, saya kepingin banget bisa berlama-lama di tempat itu. Pura Batu Bolong dan pantai cantik yang saya (lagi-lagi) tak tahu namanya menjadi destinasi terakhir kami dalam menyisir Kawasan Senggigi.
Pantai sepi di sebelah pura |
Pura Utama Batu Bolong dari pantai |
Secara keseluruhan, Senggigi adalah kawasan wisata yang menarik untuk dikunjungi karena kaya akan destinasi wisata. Apalagi, kalau anda seorang traveler yang gila nongkrong karena sepanjang Jalan Raya Senggigi penuh oleh cafe, pub, hingga diskotek. Mostly, buka hingga 24 jam dan membuat Senggigi dianggap tidak pernah tidur. Berbagai penginapan murah maupun mahal juga tersedia di kawasan ini sehingga banyak wisatawan khususnya mancanegara yang menyerbu Senggigi. Cuma sayangnya, tipikal destinasi wisata di Indonesia: semakin ramai tempat, maka semakin kotor kondisi-mulai menerpa di hampir seluruh pantai Kawasan Senggigi. Miris dan bikin sedih.
How Much I Spent:
Day 1 Salatiga-Surabaya-Lombok:
1. Bus Salatiga-Solo (Safari) : Rp 15.000,00
2. Peron Terminal Tirtonadi: Rp 500,00
3. Bus Solo-Surabaya (Sumber Selamat): Rp 40.000,00
4. Bus DAMRI Terminal Purabaya-Bandara Internasional Juanda: Rp 20.000,00
5. Airport Tax Juanda: Rp 75.000,00 (mahal banget, huks)
6. Jajan di Indomaret LOP: Rp 12.500,00
7. Bus DAMRI LOP-Senggigi: Rp 30.000,00
8. Sewa kamar Sonya Homestay (Fan, Private Shower Room, and Breakfast): Rp 125.000,00
9. Sewa Motor selama dua hari: (Rp 50.000,00x2)/2 = Rp 50.000,00
10. Bensin : Rp 16.000,00/2 = Rp 8.000,00
11. Makan malam (Ayam Taliwang): Rp 43.000,00
12. Jajan di Indomaret (bekal ke Gili Trawangan): Rp 12.600,00
13. Uang Toilet: Rp 3.000,00
Total Pengeluaran Hari Pertama: Rp 434.600,00
Salam dari kami berdua lagi :D |
Tunggu postingan selanjutnya dan Salam Kupu-Kupu ^^d
No comments:
Post a Comment