Tuesday, September 30, 2014

Lombok Hula Trip Day 3 - Kalap Di Cakranegara Dan Kunjungan Tak Terduga Ke Rembitan



Pagi itu rasanya berat sekali. Walaupun sudah selesai mandi dan beberes, namun kenyamanan kamar hotel yang saya tempati membuat saya malas beranjak kemana-mana. Semakin malas setelah menyadari kalau hari itu adalah hari terakhir jalan-jalan kami di Pulau Lombok. Waktu terasa cepat sekali berjalan kalau kita tengah bersenang-senang. Untung saja ada Uul, teman yang terus mengingatkan kalau ada tempat lagi yang harus kami kunjungi sebelum pulang ke Pulau Jawa.

Mengingat jadwal yang padat, saya dan Uul sudah sepakat jika hari terakhir dari Lombok Hula Trip akan kami gunakan untuk berburu oleh-oleh. Uul terlihat bersemangat sekali hari itu, apalagi dia dititipi cinderamata banyak sekali oleh teman-temannya. Berdasarkan saran dari Uma, kami disuruh untuk menuju ke Pasar Cakranegara. Katanya disana banyak sekali pilihan, dan harganya relatif lebih murah.

Perjalanan ke Pasar Cakranegara dari hotel tempat kami menginap di Jalan Pejanggik, kami tempuh menggunakan angkutan warna kuning dengan tarif Rp 4.000,00 sekali jalan. Entah mau jauh atau dekat, tarif sama saja. Selain ke Pasar Cakranegara, ada satu lagi tujuan kami yakni mengunjungi desa Suku Sasak di Rambitan. Namun, kami berdua sepakat rencana itu lebih ke tentatif semata. Kalau memang jodoh, ya, kami kesana.

Kalap Belanja Di Pasar Cakranegara
Berbekal petunjuk yang kami dapatkan dari Uma dan kawannya, Jati, kami langsung bergerak menuju ke toko souvenir murah di luar Pasar Cakranegara. Katanya sih, terletak di gang kecil di sebelah pasar. Gang kecil yang ternyata penuh dengan toko suvenir berderet-deret. Kami sempat kebingungan memilih toko manakah yang dimaksud Uma, hingga akhirnya nekat masuk ke salah satu toko. Tokonya bersih, lumayan luas, pelayan ramah, dan barang yang ditawarkan beraneka rupa model maupun harganya. Di tempat itu kami berburu kaos dengan tulisan dan gambar khas Lombok, harga bervariasi mulai Rp 15.000,00 hingga Rp 45.000,00 per kaos tergantung warna dan bahan. Murah kan?

Uma- the girl with "V" sign, dan Jati- the girl with blue jacket.
Still couldn't believe that both of them are forest rangers.
Keren ya?

Perburuan kami belum selesai, kami kemudian masuk ke dalam area Pasar Cakranegara untuk mencari kain khas Lombok. Ada banyak motif dari kain Sasambo (akronim dari Sasak-Lombok), yang paling terkenal adalah kain songket serta kain batik motif lumbung-motif yang terinspirasi dari bentuk bangunan lumbung padi dari Suku Sasak. Motif lain lebih terpengaruh kepada daerah pesisir dimana banyak binatang atau tanaman laut yang menjadi modelnya. Saya sih, lebih merekomendasikan yang bermotif lumbung, lah, kalau yang motif lain mirip motif-motif di Pulau Jawa kok.

Sudut depan Pasar Cakranegara. Masih sepi.

Kain batik di Pasar Cakranegara dijual per dua meter dengan harga bermacam-macam. Paling murah adalah Rp 40.000,00. Kain paling mahal bisa menembus puluhan juta dan biasanya ditempatkan di kotak kaca khusus. Tenang saja, asal pintar merayu dan menawar bisa kok dapat potongan harga. Apalagi kalau belinya segambreng kaya si Uul. Ahahah. Selain kain batik, sarung khas Lombok juga menarik untuk dijadikan cinderamata.

Suasana salah satu toko souvenir

Kaos sudah, kain batik sudah. Apa yang kurang? Yap, cemilan khas Lombok. Sebenarnya kalau ingin murah dan puas kita bisa berbelanja di Phoenix Store, toko oleh-oleh yang letaknya tak begitu jauh dari Pasar Cakranegara. Namun dengar-dengar, kalau hari Minggu cuma buka setengah hari. Belum lagi kami juga sudah lelah berbelanja. Akhirnya, kami terpaksa membeli oleh-oleh makanan khas Lombok di lantai atas Pasar Cakranegara.

Hanya ada beberapa penjual cemilan khas Lombok yang bisa kami temui di lantai atas Pasar Cakranegara. Beh, ternyata mayoritas cemilan disini mirip sekali sama yang ada di Jawa. Saya dan Uul akhirnya cuma membeli dodol serta permen rumput laut. Itupun cuma sedikit. Kenapa? Entah para pedagang disini sudah menciptakan kesepakatan bersama atau bagaimana, tapi semua pedagang menjual barang dagangan mereka dengan harga sama. Mau minta diskon, eh, penjualnya bilang begini, "gak berani mas, nanti saya dimarahi teman-teman penjual yang lain". Ah, ya sudahlah.

Tuhan Membuka Jalan Ke Desa Suku Sasak
Awalnya setelah sampai di bandara, kami sudah menyerah untuk mengunjungi Desa Rembitan. Hingga kemudian suatu insiden kecil terjadi. Ada kain pesanan salah satu teman Uul yang lupa terbeli saat di Pasar Cakranegara tadi. Uul pun panik. Saya juga ikutan panik. Err, bingung sih lebih tepatnya. Masa iya kami harus balik lagi ke Cakranegara?

Ah! Uul mendadak ingat, jika di Desa Rembitan juga menjual hasil kerajinan, termasuk kain. Dia langsung mengajak saya untuk menuju kesana. Jarak Desa Rembitan dari Bandara sebenarnya tidak jauh, paling lama cuma 20 menitan. Sayangnya, tidak ada transportasi umum yang mengarah ke tempat itu. Saya dan Uul akhirnya memutuskan memakai jasa rental mobil di bandara agar bisa lebih cepat sampai ke Rembitan. Dua setengah jam lagi waktu saya check-in pesawat.

Singkat cerita, sampailah kami di Desa Rembitan. Bapak sopir rental menunggu di parkiran, sedangkan kami disambut dan diantar seorang pemuda desa untuk masuk ke area dalam desa. Pemuda itu merangkap pemandu kami, tanpa pemandu setiap pengunjung tak bisa masuk katanya. Ada gapura besar menyambut kami memasuki area dalam desa. Terlebih dahulu kami harus mendaftarkan diri di buku tamu sekaligus membayar uang sumbangan seikhlasnya.

Uul di depan pintu masuk Desa Rembitan

Selepas itu kami diajak berkeliling oleh pemuda tadi. Dia memperkenalkan namanya, nama yang kemudian tanpa sengaja terlupa oleh saya. Pertama kali dia mengajak kami ke rumah kepala adat. Ada semacam pendapa terbuka yang digunakan untuk musyawarah warga tepat di depan rumah kepala adat.

Area rumah kepala adat

Rute penelusuran selanjutnya adalah menelusuri desa adat itu, memasuki gang-gang kecil yang terasa bagai labirin bagi orang asing seperti kami. Nyaris tidak ada jarak antar masing-masing rumah disini. Dinding setiap rumah terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya terbuat dari ijuk. Kami berdua diberikan kesempatan untuk melihat langsung ke dalam salah satu rumah (bale tani). Katanya sih , rumah pemandu tadi. Pembagian rumahnya sangat sederhana, cuma ada balai-balai untuk tempat tidur orang tua serta ruang tamu di bawah, dan satu kamar tertutup di atas untuk para anak perempuan yang sekaligus digunakan sebagai dapur. Uniknya, setiap minggu rumah ini dipel memakai kotoran kerbau yang berfungsi sebagai penjaga suhu rumah dan pencegah nyamuk. Ada pula lumbung padi, bangunan untuk menyimpan hasil panen yang berbentuk lucu. Bagaikan rumah yang diberi topi. Suku Sasak mempercayai, orang yang boleh masuk ke lumbung hanyalah wanita dewasa yang sudah menikah sebab bila tidak maka dikhawatirkan bisa mengalami kemandulan.

Lorong-lorong desa

Keterangan searah jarum jam: tempat tidur orang tua,
kamar tertutup+dapur bagi anak perempuan,
 ornamen kepala kerbau, dan rumah warga Sasak

Lumbung padi

Kenapa ada kamar tertutup untuk para gadis? Itu karena Suku Sasak masih menganut sistem perkawinan yang unik yaitu kawin culik. Jadi, kalau ada jejaka yang menyukai anak gadis suatu keluarga maka dia berusaha mati-matian untuk berhasil menculik gadis tersebut. Biasanya adegan penculikan ini dibantu oleh kawan atau saudara jejaka tadi. And yes, gadis yang diculik, mau tak mau, suka tak suka, harus menerima pinangan karena kalau tidak perang keluarga dikhawatirkan bisa terjadi.

Kami kemudian diajak berkeliling semakin masuk ke area dalam desa. Mayoritas sih, ya, hanya berupa bale tani dan lumbung padi. Beberapa kali kami berpapasan dengan warga yang menjual hasil kerajinan Suku Sasak seperti gelang, kalung dan kain. Hampir setiap rumah, pasti ada yang berjualan. Tampaknya selain bertani, membuat dan menjual hasil kerajinan adalah profesi dari Suku Sasak. Terlebih bagi para wanita yang sejak kecil sudah diajari menenun dan berdagang. Saya sempat kaget melihat seorang perempuan kecil berusia sekitar enam tahunan yang mahir sekali menawarkan dagangan kepada para tamu yang lewat.

Wanita penenun ditemani ayam nan setia

Cantiknya kain songket dari Suku Sasak

Uul selalu menolehkan pandangan dengan seksama setiap ada rumah yang menawarkan kain. Dia tampak berusaha sekali mencari kain yang serupa dengan apa yang dibelinya di Pasar Cakranegara tadi. Harga kain disini relatif lebih mahal dibandingkan yang dijual di Cakranegara, alasannya karena masih menggunakan tenaga manusia. Sembari Uul mencari kain, saya dan pemandu terus mengobrol tentang kehidupan Suku Sasak bahkan kehidupan pribadinya.

Uul yang tengah berjuang mencari kain yang terlupa.
Untung, nemu gantinya ya ul. :D
Oh iya, yang di depan Uul itulah mas pemandu kami.

Di pikiran saya, Susu Sasak bakalan sama seperti suku lain seperti Badui atau Samin yang masih mengejawantahkan pendidikan atau agama. Nyatanya, seluruh Suku Sasak merupakan penganut agama Islam bahkan ada masjid kuno di desa tersebut. Soal pendidikan, ternyata mirip sama kondisi pendidikan desa-desa di Jawa dimana tingkat pendidikan masyarakat paling banyak ya SMA. Namun, beberapa pemuda Desa Sasak bahkan terus berjuang hingga mendapatkan pendidikan jenjang universitas seperti pemandu kami yang kini tengah menyelesaikan skripsi jurusan agrobisnis di universitas lokal.

Masjid Desa Rembitan


Saya sempat heran bagaimana cara dia membagi waktu antara menjadi pemandu dengan masa kuliah, apalagi tempat dia berkuliah terhitung lumayan jauh dari Desa Rembitan. Katanya, sebelum masuk dia sudah memberi tahu pihak kampus kalau dia berasal dari desa adat dan meminta keringanan dalam masalah waktu. Raut mukanya sejenak berubah menjadi muram ketika membicarakan kesulitan terberat dari masa kuliah ini adalah soal biaya dan masa depan. Pendapatan yang diterima dari hasil memandu tidak seberapa, kuliah butuh dana yang tidak sedikit, serta entah mau jadi apa dia nanti setelah lulus. Saya cuma bisa diam ketika ia terus bercerita, bagaimanapun saya setidaknya sedikit tahu apa yang dia rasakan.

Beberapa lontaran kata penyemangat sempat saya ucapkan. Yah, hidup memang penuh misteri. Selama kita terus berusaha, pasti akan ada jalan yang disediakan oleh Tuhan. Entah itu jalan yang lurus atau berkelok-kelok. Lihat saja kami yang akhirnya tanpa diduga berhasil sampai ke Desa Rembitan, walau semula sudah menyerah di awal perjalanan. Atau tengok juga cobaan-cobaan yang kami alami sebelum mendaratkan kaki di Pulau Lombok. Tak semulus yang kami harapkan, tuan.

Kunjungan ke Desa Rembitan menjadi penutup perjalanan saya dan Uul dalam menjelajah Pulau Lombok. Perjalanan yang masih terasa bagaikan keajaiban buat saya pribadi. Walau banyak mengalami cobaan di awal dan selama perjalanan, namun pelajaran dan pengalaman yang kami berdua dapatkan jauh lebih banyak. Tak lelah, sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Campina yang telah menanggung akomodasi kami selama perjalanan kemarin. Terima kasih kepada Uul yang membagikan keberuntungannya kepada saya. Dan, terima kasih juga kepada Uma dan Jati, teman lama serta teman baru yang turut memberi warna dalam perjalanan singkat ini. Ah, saya pengen kesana lagi!

Sampai jumpa di
petualangan yang lain!


How Much I Spent:
Day 3 (Mataram-Praya-Rembitan-Salatiga):
1. Ongkos angkot kuning Pejanggik-Cakranegara: Rp 4.000,00 per orang
2. Ongkos angkot kuning Cakranegara-Terminal Mandalika: Rp 4.000, 00 per orang
3. Taksi dari Terminal Mandalika ke Bandara (gara-gara bus DAMRI tak beroperasi): Rp 100.000,00
dibagi 2 = Rp 50.000,00
4. Biaya masuk bandara (karena pakai taksi): Rp 5.000,00
5. Sewa mobil plus sopir untuk antar jemput ke Desa Rembitan: Rp 130.000,00 dibagi 2= Rp 65.000,00
6.  Sumbangan sukarela ke Desa Rembitan: Rp 20.000,00 dibagi 2= Rp 10.000,00
7. Airport tax bandara: Rp 15.000,00
8. Ongkos bus Surabaya-Solo (PO EKA, saya kapok naik EKA. Seenak udel aja nurunin penumpang bukan di tempat tujuan gara-gara alasan sepi penumpang. Ngapain buka trayek kalau takut sepi? Cemen!): Rp 63.000,00
9. Ongkos bus Solo-Salatiga (SAFARI): Rp 13.000,00
Total pengeluaran: Rp 229.000,00
Jadi, keseluruhan pengeluaran saya selama tiga hari di Lombok: Rp 434.600,00 + Rp 60.000,00 + Rp 229.000,00 = Rp 723.600,00*
*) note: Saya tidak memasukkan beberapa biaya yang dibayar oleh Uul dan tak mau diganti (seperti : biaya guide Desa Rembitan, ongkos taksi selama di Mataram, biaya makan sate bulayak), serta biaya belanja oleh-oleh. Aduh, saya kalap, kak. :p

Masih ada postingan lain tentang Lombok dan Salam Kupu-Kupu ^^d

P.S. All photos without watermark were captured by Uul.

2 comments:

  1. cieee yang abis dari Lombok cieeee ~~~~ ada fotoku kkkkk
    eh mana oleh2 buatku? :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apaan sih um. -_-
      Lah, masa sekarang jadi orang Lombok, terus minta oleh-oleh dari Lombok?
      Harusnya sih ya, harusnya kamu yang ngirimin oleh-oleh kemari. Hahah.

      Delete