Pertanyaan itu langsung terlintas di kepala saya begitu menjejakkan kaki di Gili Trawangan. Bukan, bukan karena keindahan pantai pasir putih dan gradasi warna air lautnya yang menakjubkan. Bukan pula gara-gara keramahtamahan para penduduk aslinya. Hmm, pertanyaan itu justru muncul sebab apa yang saya lihat di depan mata adalah sebuah pulau nan padat oleh foreigners, atau kalau masyarakat kita biasa menjuluki mereka dengan sebutan bule. Well, ain't it good?
Perjalanan menuju Pelabuhan Bangsal-tempat penyeberangan perahu menuju tiga gili, kami tempuh dari Senggigi selama kurang lebih satu jam. Dari awal saya memang sengaja mengincar menginap di Senggigi karena alasan jaraknya yang lebih dekat dengan Bangsal. Perjalanan selama satu jam itu tak terasa begitu melelahkan karena pemandangan sepanjang jalan bagai deret kotak penuh kejutan. Kejutan akan pemandangan cantik yang sampai membuat kami berulang kali memberhentikan motor untuk sekedar mengabadikannya dalam kamera.
Sesampainya di Pelabuhan Bangsal, kami bergegas mencari loket yang menjual tiket perahu menuju ke Gili Trawangan. Ada dua mode perahu yang bisa digunakan untuk sampai kesana, perahu cepat atau perahu biasa-tentu masing-masing harganya berbeda jauh. Beberapa orang sempat menawari kami tiket perahu cepat, namun terpaksa kami tolak karena ingin berhemat. Pembelian tiket perahu biasa maupun cepat kini dikelola oleh koperasi lokal. Setiap orang yang membeli akan diberi tiket berwarna, nanti warna itulah yang akan menentukan kita naik perahu apa. Bagi yang naik perahu biasa seperti kami, harus sedikit bersabar menunggu kapasitas penumpang penuh dahulu baru perahu akan berangkat.
Penyeberangan menuju Gili Trawangan ditempuh dalam waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Gara-gara lama tidak naik perahu, perjalanan itu membuat saya menjadi sedikit mual. Sebaliknya, si Uul malah tampak tenang. Bahkan nyaris sepanjang penyeberangan itu dia sukses tertidur. Ah, mungkin dia kecapekan.
Perahu pun bersandar. Seluruh awak kapal turun diikuti oleh para penumpangnya. "Hore...Gili Trawangan!", pekik saya dalam hati. Tapi, huh? Tunggu dulu. Kenapa penuh dengan foreigners? Di dekat perahu kami tadi tampak kapal cepat yang hendak kembali ke Lombok daratan, dan seluruh calon penumpang yang sedang mengantri masuk kapal adalah, ya apalagi kalau bukan para bule.
Mengingat waktu yang mepet, kami berdua memutuskan berjalan kaki menyusuri jalanan utama di pulau seluas enam kilometer persegi ini. Sumpah, sepanjang jalan, mau di kafe, restauran, toko cinderamata, tempat pelatihan diving, bahkan sampai ke toko kelontong pun nyaris dipenuhi oleh orang non-pribumi. Bukan, bukan saya anti orang asing atau bagaimana, cuma kaget saja ternyata suasana Gili Trawangan kalau lagi peak season bakal seramai itu. It's just...foreigner everywhere! Cuma segelintir orang Indonesia yang saya jumpai, itu saja kebanyakan adalah para petugas kapal, pelayan di restauran, atau penyedia jasa penyewaan sepeda.
Merasa asing di negeri sendiri, itulah yang saya rasakan saat berjalan kaki menyusuri jalanan dari pulau bebas kendaraan bermotor tersebut. Pamflet promosi berbagai macam jasa saja mayoritas memakai Bahasa Inggris. Tarif? Oh, saya yakin anda sudah paham apa efek dari banyak wisatawan asing di suatu tempat terhadap harga barang. Belum lagi makanan yang ditawarkan juga terlihat lebih mengakomodir para wisman dengan sajian kebarat-baratan. Ada sih satu warung makanan Indonesia, tapi sepertinya ya cuma satu itu sepanjang jalan.
Terlepas dari keramaian pulaunya, Gili Trawangan memiliki pantai yang cantik. Untuk menghindari keramaian, saya dan Uul harus berjalan kaki keluar dari jalanan utama dan menyusuri pesisir pantai. Tidak mudah menemukan bagian pantai yang sepi karena pasti sudah dipakai para bule berjemur atau terhadang oleh restauran-restauran di pinggir pantai. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami menemukan spot pantai yang sepi. Wih, rasanya semua rasa lelah dan mual yang saya alami tadi langsung hilang begitu melihat gradasi warna air laut nan cantik di depan mata.
Kami tak lama menjelajah pulau, pukul setengah dua siang tepat kami langsung berbalik arah dan segera membeli tiket pulang. Tiket Gili Air dan Gili Meno tampak menggiurkan sekali sebenarnya, sayang waktu kami memang tak banyak. Perjalanan menyeberang pulang terasa lebih mengerikan dibandingkan waktu berangkat. Ombak lautan semakin meninggi dan terus datang menghantam perahu yang kami naiki. Ah, rasanya bagaikan tengah menaiki kora-kora sepanjang perjalanan. Rasa mual kembali menghampiri bahkan kini lebih hebat. Saya cuma bisa diam sambil terus menarik nafas panjang untuk meringankan rasa mual tadi. So loong Gili Trawangan!
How Much I Spent:
Day 2 (Senggigi-Gili Trawangan-Mataram):
1. Bensin: Rp 8.000,00/2 = Rp 4.000,00
2. Parkir motor setengah hari: Rp 5.000,00/2 = Rp 2.500,00
3. Tiket perahu Pelabuhan Bangsal-Trawangan+ Asuransi per orang:
Rp 13.000,00+Rp 500,00= Rp 13.500,00
4. Tiket perahu Gili Trawangan-Pelabuhan Bangsal: Rp 13.000,00
5. Makan siang (Nasi Campur): Rp 17.000,00
6. Engkel dari Senggigi ke Pasar Ampenan: Rp 5.000,00
7. Angkot kuning dari Ampenan ke Pejanggik: Rp 5.000,00
Total Pengeluaran: Rp 60.000,00
Mohon sabar menunggu postingan selanjutnya dan Salam Kupu-Kupu ^^d
P.S. Photos without watermark were captured by my bestfriend, Uul.
Salah satu kejutan yang kami dapat dalam perjalanan menuju Bangsal via Senggigi. Bukit Malimbu mah lewat. |
Sesampainya di Pelabuhan Bangsal, kami bergegas mencari loket yang menjual tiket perahu menuju ke Gili Trawangan. Ada dua mode perahu yang bisa digunakan untuk sampai kesana, perahu cepat atau perahu biasa-tentu masing-masing harganya berbeda jauh. Beberapa orang sempat menawari kami tiket perahu cepat, namun terpaksa kami tolak karena ingin berhemat. Pembelian tiket perahu biasa maupun cepat kini dikelola oleh koperasi lokal. Setiap orang yang membeli akan diberi tiket berwarna, nanti warna itulah yang akan menentukan kita naik perahu apa. Bagi yang naik perahu biasa seperti kami, harus sedikit bersabar menunggu kapasitas penumpang penuh dahulu baru perahu akan berangkat.
Penyeberangan menuju Gili Trawangan ditempuh dalam waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Gara-gara lama tidak naik perahu, perjalanan itu membuat saya menjadi sedikit mual. Sebaliknya, si Uul malah tampak tenang. Bahkan nyaris sepanjang penyeberangan itu dia sukses tertidur. Ah, mungkin dia kecapekan.
Perahu pun bersandar. Seluruh awak kapal turun diikuti oleh para penumpangnya. "Hore...Gili Trawangan!", pekik saya dalam hati. Tapi, huh? Tunggu dulu. Kenapa penuh dengan foreigners? Di dekat perahu kami tadi tampak kapal cepat yang hendak kembali ke Lombok daratan, dan seluruh calon penumpang yang sedang mengantri masuk kapal adalah, ya apalagi kalau bukan para bule.
Para wisman yang tengah menanti masuk kapal |
Mengingat waktu yang mepet, kami berdua memutuskan berjalan kaki menyusuri jalanan utama di pulau seluas enam kilometer persegi ini. Sumpah, sepanjang jalan, mau di kafe, restauran, toko cinderamata, tempat pelatihan diving, bahkan sampai ke toko kelontong pun nyaris dipenuhi oleh orang non-pribumi. Bukan, bukan saya anti orang asing atau bagaimana, cuma kaget saja ternyata suasana Gili Trawangan kalau lagi peak season bakal seramai itu. It's just...foreigner everywhere! Cuma segelintir orang Indonesia yang saya jumpai, itu saja kebanyakan adalah para petugas kapal, pelayan di restauran, atau penyedia jasa penyewaan sepeda.
Begitu nemu spot jalan yang sepi langsung saya jepret. Kondisi sepanjang jalan utama Gili Trawangan. |
Salah satu persewaan sepeda disana. Ratenya kalau tidak salah 35 ribuan. |
Merasa asing di negeri sendiri, itulah yang saya rasakan saat berjalan kaki menyusuri jalanan dari pulau bebas kendaraan bermotor tersebut. Pamflet promosi berbagai macam jasa saja mayoritas memakai Bahasa Inggris. Tarif? Oh, saya yakin anda sudah paham apa efek dari banyak wisatawan asing di suatu tempat terhadap harga barang. Belum lagi makanan yang ditawarkan juga terlihat lebih mengakomodir para wisman dengan sajian kebarat-baratan. Ada sih satu warung makanan Indonesia, tapi sepertinya ya cuma satu itu sepanjang jalan.
Selain sepeda dan jalan kaki, bisa juga pakai cidomo. |
Terlepas dari keramaian pulaunya, Gili Trawangan memiliki pantai yang cantik. Untuk menghindari keramaian, saya dan Uul harus berjalan kaki keluar dari jalanan utama dan menyusuri pesisir pantai. Tidak mudah menemukan bagian pantai yang sepi karena pasti sudah dipakai para bule berjemur atau terhadang oleh restauran-restauran di pinggir pantai. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami menemukan spot pantai yang sepi. Wih, rasanya semua rasa lelah dan mual yang saya alami tadi langsung hilang begitu melihat gradasi warna air laut nan cantik di depan mata.
Gili Trawangan! |
Ada yang semalam habis main gaplekan, terus kartunya ditinggal begitu aja. |
Uul! |
Saya yang tengah berjalan menyusuri pantai. Foto ini diambil selepas ombak lumayan besar datang menghadang. |
Kami tak lama menjelajah pulau, pukul setengah dua siang tepat kami langsung berbalik arah dan segera membeli tiket pulang. Tiket Gili Air dan Gili Meno tampak menggiurkan sekali sebenarnya, sayang waktu kami memang tak banyak. Perjalanan menyeberang pulang terasa lebih mengerikan dibandingkan waktu berangkat. Ombak lautan semakin meninggi dan terus datang menghantam perahu yang kami naiki. Ah, rasanya bagaikan tengah menaiki kora-kora sepanjang perjalanan. Rasa mual kembali menghampiri bahkan kini lebih hebat. Saya cuma bisa diam sambil terus menarik nafas panjang untuk meringankan rasa mual tadi. So loong Gili Trawangan!
How Much I Spent:
Day 2 (Senggigi-Gili Trawangan-Mataram):
1. Bensin: Rp 8.000,00/2 = Rp 4.000,00
2. Parkir motor setengah hari: Rp 5.000,00/2 = Rp 2.500,00
3. Tiket perahu Pelabuhan Bangsal-Trawangan+ Asuransi per orang:
Rp 13.000,00+Rp 500,00= Rp 13.500,00
4. Tiket perahu Gili Trawangan-Pelabuhan Bangsal: Rp 13.000,00
5. Makan siang (Nasi Campur): Rp 17.000,00
6. Engkel dari Senggigi ke Pasar Ampenan: Rp 5.000,00
7. Angkot kuning dari Ampenan ke Pejanggik: Rp 5.000,00
Total Pengeluaran: Rp 60.000,00
See you on the next post! |
Mohon sabar menunggu postingan selanjutnya dan Salam Kupu-Kupu ^^d
P.S. Photos without watermark were captured by my bestfriend, Uul.
No comments:
Post a Comment