Wednesday, May 8, 2013

Latihan Mendaki Di Gunung Andong - Part II End



Sekitar jam 10 kurang 15 menit, sampailah kami di persimpangan jalan. Salah satu jalan menuntun kami menuju puncak, sedangkan jalan lainnya membawa ke semacam pondokan kecil. Penasaran, kami pun memutuskan untuk melihat pondokan sebelum berjalan naik menuju puncak. Letak pondokan ini memang tidak jauh dari persimpangan jalan tadi, meski posisinya yang lebih tinggi membuat kami berjalan sedikit menanjak. Sedikit kok. Beneran deh. Sesampainya di dekat pondokan tersebut akhirnya kami paham untuk apa pondokan ini dibuat. Ada bekas api unggun di depan pondokan sederhana tersebut yang mengukuhkan fungsinya sebagai shelter untuk beristirahat bagi para pendaki dengan niatan bermalam di Gunung Andong. Sayangnya, kondisi pondokan itu nampak kacau dengan corat coret tidak jelas dari ulah tangan-tangan jahil di dinding-dindingya. Belum lagi, sampah-sampah berserakan pula di sekitar halamannya. Duh, rasanya jadi gemes. Ayo dong, jaga lingkungan kita-gunung kita. Bawa lagi kek sampah yang udah kita hasilkan. Jangan ditinggal di gunung begitu aja dong. Kasian kan gunungnya? *puk-pukin Gunung Andong*

Kami lalu beristirahat sejenak di dekat pondokan itu. Teteup dong ya, foto-foto tidak boleh ketinggalan. Hahah. Dari area tersebut kami bisa melihat salah satu Puncak Gunung Andong yang tertutup kabut. Salah satu? Iya, Gunung Andong memiliki dua puncak loh. Dua turis asing ditemani satu orang pendaki temannya juga nampak telah berhasil sampai di persimpangan. Mereka bertiga memutuskan untuk beristirahat di sekitar persimpangan tepatnya di depan rute naik menuju puncak. Kami yang sudah puas istirahat dan foto bersama memutuskan untuk bersiap menghadapi jalan menuju puncak. Bahasa kerennya sih, summit attack *cieh*. Saat berjalan turun dari area pondokan inilah terjadi insiden. Insiden yang cukup memalukan. Hujan yang mungkin telah mengguyur area tersebut pada malam sebelumnya membuat jalan setapak yang kami lalui menjadi licin tak terkira. Si Meykke yang hendak memberi tahu kami kondisi jalan yang licin, eh tidak sampai  menyelesaikan kalimatnya sudah menjadi korban pertama duluan. Yap, korban terpeleset. Saya, Agam dan Yanta hanya bisa tertawa sembari bergerak menolong berdiri Meykke. Insiden belum berakhir. Saya yang membatin dan berkira-kira siapa yang akan jadi korban selanjutnya malah terkena batunya. Baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba "bruukk!", pantat saya sudah menempel di tanah. Siaaaaaaal! Mana posisi saya terpeleset mendekati posisi para turis asing yang tengah beristirahat pula. Dih, malunya ampun-ampunan. Sembari menunduk malu, saya dan ketiga kawan pendakian ini pun kembali melewati rombongan turis asing tersebut. Kami duluan lagi ya kakak. Tchauu!

Pondokan sangat sederhana


Yanta nge-candid waktu saya jatuh. Look, betapa
bahagianya Meykke dan Agam. Grrr.

Di antara kami semua, Yanta memang menjadi orang yang paling prima selama pendakian. Langkahnya stabil dan tak nampak tanda-tanda kelelahan di wajahnya. Berbeda dengan saya, Agam dan Meykke yang bisa dikatakan masih pendaki amatiran. Sedikit-sedikit berhenti. Sedikit-sedikit ngoceh gak jelas. Tentu saja, itu ditambah dengan keringat deras yang mengucur dari dahi kami. Saya yang paling parah. Entah, mungkin saya sudah lelah duluan hasil dari bolak balik Salatiga-Semarang-Salatiga selama hampir semingguan penuh sebelum pendakian. Bahkan, hari Jumat alias H-1 pendakian saja saya masih hilir mudik naik motor ke Semarang. Parahnya lagi, saya jarang berolahraga. Akumulasi kelelahan dari hasil pulang pergi Salatiga-Semarang plus kelelahan mendaki gunung membuat kaki kanan saya mendadak kram ketika setengah jalan menuju puncak pertama. Argh, sakit banget. Meykke yang nampak kebingungan akhirnya menempelkan koyo cabai di kaki kanan saya. Itu adalah kali pertama saya memakai koyo cabai. Rasanya? Panas banget sumpah. Setelah kaki agak enakan, saya pun mencoba berdiri kembali. Bersama dengan Meykke dan Agam, saya lalu menyusul Yanta yang sudah maju jauh ke depan. Sedikit kurang kerjaan, kami bertiga malah berjalan sambil berteriak-teriak melepaskan segala kegundahan. Skripsiiiiii!! Wisudaaa!! Kerjaaa!! Iya, Agam dan Meykke tengah gundah menyelesaikan skripsi mereka dan mengejar target wisuda sedangkan saya tinggal menunggu wisuda dan mencari kerja. Oh God, please help us. Doakan kami yak. :p

Rute ke puncak 1

Agam yang sadar kamera

Berangsur-angsur kabut mulai menipis di sekitar kami. Panorama padang rumput hijau pun terbentang luas di sekeliling kami. Subhanallah. Kaki kami betiga terus melangkah maju dan menanjak menyusul Yanta yang tiba-tiba diam membisu di depan sana. Ada apaan Yanta? Err, kita kagak nyasar lagi kan? Heheh. Untunglah, kali ini Yanta  mengatakan hal yang melegakan hati. Kita sudah sampai di puncak pertama katanya. Hah? Seriuskah? Finally! Tanpa menunggu lama, kami segera mengabadikan momen keberhasilan kami mencapai puncak pertama dari Gunung Andong. Berbagai macam pose dan ekspresi kami luapkan  kali itu. Mulai pose melompat di udara yang gagal mulu gara-gara kagak kompak, pose salto, kayang hingga poco-poco (hiakdesh!). Eitss, mari kita akhiri euphoria semu kita. Yanta segera mengajak kami untuk menghadapi tantangan pendakian Gunung Andong yang sebenar-benarnya. Tantangan itu adalah melewati rute berbentuk geger sapi untuk mencapai puncak kedua sekaligus puncak tertinggi dari gunung ini. Sebentar, kalian tahu apa itu geger sapi? Geger (dibaca ghe-gher) adalah istilah dari Bahasa Jawa yang berarti punggung. Lalu, sapi? Kalian tahu kan? Binatang berkaki empat itu tuh. Bukaaaan, saya kan berkaki dua. Mueheheh. Nah, geger sapi adalah rute pendakian Gunung Andong yang bentuknya menyerupai punggung dari seekor sapi. Melengkung dan tipis begitu. Geger sapi ini adalah rute yang menurun tajam kemudian menanjak naik dengan lebar mungkin hanya sekitar satu meteran. Pinggir-pinggirnya? Apalagi kalau bukan jurang tanpa pembatas yang entah berapa meter dalamnya. Hal ini diperparah kondisinya yang licin dan sedikit basah. Kata Yanta bahkan saat dia mendaki seorang diri dan melewati geger sapi tiba-tiba angin kencang bertiup kencang dari kedua sisi. Maaak, saya kagak sanggup membayangkan apa jadinya kalau saya yang ada di posisi Yanta waktu itu. Dengan tertatih-tatih (lebay), kami akhirnya berjuang melewati geger sapi. Saya berada di posisi paling depan, disusul Meykke, Agam baru Yanta. Bagian menurun yang paling berbahaya dari rute ini, dih kepleset sedikit nembusnya jurang nih. Zonk banget kan? Tahu kami bertiga ketakutan, Yanta lalu mengusulkan untuk melewati trek menurun tersebut dengan duduk lalu bergerak melorot dari atas. Kami bertiga langsung kompak untuk mencoba. Beneran, jalan ngesot ternyata terasa lebih mudah daripada harus berdiri. Namun, di tengah-tengah rute saya tersadar. Oke, Agam dan Meykke sama-sama memakai celana jeans yang tebal dan kuat. Terus nasib celana saya yang berbahan polyster tipis apa kabar dong? Saya kemudian memutuskan untuk mencoba berdiri dan melewati rute tersebut dengan berjalan normal meski pelan semacam siput. Kedua tangan juga saya rentangkan ke kanan dan kiri untuk menjaga keseimbangan. Woosaaaaaaah! Saya berhasil melewati trek menurun dari Geger Sapi!

Pose berlatar puncak 1

Puncak 1

Puncak 1. Yatta!

Geger Sapi dan Kabut

Ngesot nyyoook!

Saya move-on dari ngesot ;p

Berbeda dengan trek menurun yang ngeri-ngeri sedap, trek datar dan menanjak dari Geger Sapi lebih santai buat dijalani walau sama-sama di kanan kirinya jurang menganga. Dari trek datar, saya memutuskan untuk berhenti sebentar sembari melihat di sekeliling saya. Jurang yang di kanan-kiri kami sebenarnya bagusss banget. Lekukan-lekukan jurang nampak berpadu indah dengan warna hijau segar dari rumput maupun lumut yang menempel di bebatuan penyusunnya. Kabut juga hilir mudik di atas kami yang memberikan kesan meneduhkan dari area itu. Si Meykke dan Agam yang masih ngesot kemudian menyusul saya. Begitu pula dengan Yanta (dia kagak ngesot sama sekali. curang). Kata Yanta, setelah trek menanjak ini, sampailah kita di puncak kedua sekaligus puncak tertinggi dari Gunung Andong. Serius? Aaaa, ayo segera naik! Kami semua dengan penuh semangat terakhir langsung bergerak maju dan menghadapi tanjakan itu daaaaaann....yeaaaaaaaahhh kami sampai di puncak! Whoa, rasanya seneng banget. Sampai-sampai bawaannya saya pengen teriak "freee....freee...freee!" kaya di iklan aplikasi chat yang sering nongol di televisi. Sembari menikmati pemandangan dari atas puncak, kami membuka tas kami dan menggelar perbekalan yang kami bawa. Berbagai macam minuman, makanan hingga cemilan tersaji di depan kami. Ah, baru kali itu semua makanan dan minuman rasanya jadi nikmaaaaaatt banget. Seolah-olah setiap tegukan dan gigitan itu berlipat-lipat nikmatnya. Saya, Meykke dan Agam sangat bersyukur. Kami bertiga tidak pernah menyangka pada akhirnya kami semua bisa sampai di puncak dengan selamat. Sembari mengistirahatkan kaki, kami melihat ke sekeliling. Dari puncak bisa terlihat, rute geger sapi dengan jelas. Subhanallah, indahnya. Desa-desa yang berada di sekitaran Gunung Andong juga bisa terlihat dengan jelas manakala kabut mulai tersibak dan tertiup angin. Gunung Telomoyo juga nampak berdiri anggun di kejauhan. Keren banget sumpah.

Trek datar sebelum puncak 2

Jurang di pinggir geger sapi. The beauty of deadly gorge.

Menuju puncak gemilang cahaya!

Yeah, puncak 2 meeen!

Foto duyuu

Galauu di gunung ceritanya

Geger sapi dari puncak 2. Sexy yak?

Mungkin ada sekitar satu setengah jam-an waktu yang kami habiskan untuk menikmati keindahan dari puncak tertinggi di Gunung Andong. Langit nampak beranjak mendung. Kami pun memutuskan untuk segera turun dari Gunung Andong. Rute yang kami lewati untuk turun bukanlah rute yang sama waktu naik. Rute turun langsung melewati pinggir depan puncak tertinggi tempat kami berada. Yanta membimbing kami menuruni lereng yang cukup terjal. Lagi-lagi, ada trek yang harus membuat saya, Meykke dan Agam ngesot menembus semak belukar. Kondisi tanah yang agak basah dan licin sepanjang rute turun gunung inilah yang menjadi tantangan terberat kami waktu itu. Apalagi sepanjang rute turun, hanya semak-semak berduri tajam lah yang mayoritas menemani sepanjang perjalanan pulang. Di rute pulang ini, Yanta dan Agam terkena jatah untuk kepleset. Dimulai dari Yanta kemudian disusul Agam dengan suara jatuh kepleset yang agak keras. Hahahahah. Saya dan Meykke hanya bisa tertawa melihat dua teman kami terkena giliran. Impas dah semua.   Bagi saya rute turun ini lebih menyiksa kaki, sedikit-sedikit harus bisa mengerem sembari berjaga-jaga agar tidak ikutan kepleset kembali seperti dua teman saya. Mungkin gara-gara kebanyakan ngerem inilah, kram kaki saya kembali kumat. Parahnya, kram ini ganti-gantian menyerang dua kaki saya. Saya sampai harus berhenti sejenak agar rasa kram sedikit hilang kemudian baru memutuskan jalan kembali. Oleh karena itulah, saya sempat tertinggal jauh di belakang Yanta dan Agam yang jauh berjalan di depan. Meykke sesekali nampak berhenti dan menunggu saya muncul menyusulnya. Saya mencoba terus berjalan sembari menahan rasa sakit dan kencang di kedua kaki saya. Jalan yang semula dipenuhi semak berduri pun berganti dengan hutan pinus. Pertanda kami semakin dekat dengan titik pendakian awal. Ayoo, sebentar lagi.

Ngesot lagii

Gunung Andong setelah kami turun

Ini waktu kaki saya kram  -_-

Di sepanjang rute turun, kami juga melihat para perempuan warga desa nan tangguh yang mencari rumput untuk makan ternak mereka hingga ke atas gunung. Hebat. Saya terus mengikuti langkah ketiga teman yang terus mantap melangkah di depan. Tak berapa lama, sampailah kami di area ladang-ladang penduduk. Alhamdulillah. Eh, tapi kok beda sama tempat pendakian awal? Rupanya, kami turun melewati rute berbeda yang agak jauh dengan rute pendakian awal. Kami lalu berjalan melewati pinggir-pinggir ladang yang terus menuntun hingga ke jalan paving desa. Hore! Kami sudah sampai di bawah. Kami lalu menengok ke belakang. Melihat Gunung Andong yang nampak berselimut kabut pekat di atas puncaknya. Setengah tidak percaya, kalau kami telah berhasil menaklukan gunung tersebut. Terima kasih Ya Allah. Lagi-lagi, kram kaki saya kambuh kembali. Kali ini, kram dua-duanya. Saya sampai harus terduduk di tengah jalan desa sampai-sampai dilihatin sama penduduk desa. Duh, malunya. Setelah kaki saya agak enakan, kami lalu berjalan menuju tempat parkiran motor. Saat itulah, hujan gerimis mulai membasahi bumi. Hujan pun menemani perjalanan pulang kami. Saya bersyukur, Allah sepertinya mendengar doa kami. Hujan baru turun setelah kami berada di bawah gunung. Hujan itu juga menjadi penutup perjalanan kami kali itu. Penutup manis dari sebuah kisah tentang latihan mendaki di Gunung Andong. Gunung kecil nan cantik yang nampak membumi dibandingkan gunung-gunung besar di sekitarnya.


End dan Salam kupu-kupu. ^^d

4 comments:

  1. Wihh kalo dijejer 4 foto pake background sama, kliatan bgt nek fotone giliran....

    ReplyDelete
  2. huwaaaaaaaa..pingin lagi..
    aku ada saran nih Ngga...gimana kalau kamu nulis ada paragraf pe paragraf jangan disambung terus dan agak kecil gitu hurufnya Ngga..yang baca agak flat..kalo bisa ada yang diwarnai, digaris bawahi, di apain gitu...:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. disambung terus? aku padahal udah kasih jarak tiap pergantian paragraf loh meyk. makasih sarannya anyway. :D

      Delete